Di kotaku ada pelabuhan...
dalam alami
bukan lantaran digali
sekian kapal datang dan pergi
bahkan tertambat berbilang hari
tlah ribuan, mungkin lebih
tangan dilambai mengantar terkasih
Di kotaku ada pelabuhan...
dari tempat kau berdiri
hingga sejauh tenggelamnya mentari
pandanglah dengan teliti
niscaya kau lihat air yang jernih
bersih biru belum dicemari
tempat langit berkaca diri
Di kotaku ada pelabuhan...
sampai terakhir kutinggal pergi
berita yang kudapat tak pernah berhenti
dulu pernah aku berjanji
jika kelak kembali pasti kusambangi
bersama ayah, ibu, kakak dan adik
mengulang cerita, dahulu hingga kini
Di kotaku ada pelabuhan...
indah memang...
cuma sekarang, rasanya tak ingin aku pulang
bila mesti mengulang cerita tanpa satu pemeran
karena ayahku sudah duluan "menyeberang"
dan aku tak sempat melambaikan tangan...
Jakarta, 27 Mei 2005
Untuk Papi,
semoga Allah mengampuni dosa-dosamu,
melapangkan tempat diammu,
mencintaimu sebagaimana papi mencintai kami
anak-anakmu, Amin...
Ada hal yang selalu saya hindari untuk menulisnya di blog...berpulangnya papi ke rahmatullah, kembali kepada Sang Pemilik kehidupan ini. (kami memanggil ayah ibu kami dengan papi mami bukan untuk gaya-gaya'an...di Sulawesi Utara, tempat kami lahir dan dibesarkan, pangilan ini yang umum di gunakan, justru jika kita memanggil dengan ayah ibu akan dianggap gaya-gaya'an, hal ini menjadi kebalikan di Jakarta).
Kesedihan selalu saja mendahului saya sebelum sempat menyentuh keyboard PC saya untuk menulisnya.
Hari ini keinginan untuk menulis hari duka itu mengalahkan kesedihan saya...walaupun tidak pergi jauh, mungkin hanya menepi disudut hati saya, karena sekarangpun dia sudah berusaha mengambil posisi ditengah lagi.
Setiap mengingat saat pertama kali saya diberi kabar meninggalnya beliau oleh tante saya lewat telepon, jam 11.30 malam...rasanya seperti diambil sebagian raga ini.
Masih sangat jelas di ingatan saya,...saat itu hari Jumat, tanggal 17 Desember 2004, jam 9.15 malam, papi menelpon saya ke HP, beliau baru saja tiba di Jakarta, di rumah papi mami di Tanjung Priok, jam 7.00 malam, setelah seminggu berada di Palu menengok Ibunda beliau yang sedang sakit.
Pembicaraan kami sekitar kabar di kampung beliau cukup lama, sekitar 10 menitan. Kata-kata terakhir papi di telepon adalah "nanti aja kita ngobrol lagi hari Minggu nanti"...hari Minggu kami memang berencana mengadakan syukuran ulang tahun ke-1 tahun anak kedua kami, Lila (lahir 13 Desember 2003), syukurannya sengaja kami mundurkan supaya papi bisa hadir.
Tapi itu ternyata menjadi percakapan saya yang terakhir dengan papi. Kurang lebih dua jam setelah itu, papi dipanggil menghadap Sang Khalik.
Innalillahi wa innaillaihi roji'un. Kepergian yang tenang di kamar yang hanya di temani isterinya tercinta, mami kami (adik saya sudah berlari keluar rumah meminta pertolongan tetangga)...tidak ada erangan kesakitan, hanya matanya yang menatap mami kami terus...lalu kemudian menutup seolah tidur (Ya Allah, semoga itu menjadi petunjuk akhir yang Khusnul Khotimah).
Kesedihan tak sempat melihat saat terakhir beliau, tak sempat membimbing beliau mengucapkan talqin, tak sempat mencium tangannya untuk meminta ampun...selalu kusesali.
Tapi itu mungkin jawaban dari doa-doanya yg sering beliau ucapkan dalam shalatnya yang kami tahu dari mami, "papi selalu berdoa semoga saat papi meninggal tidak merepotkan orang banyak, berlagsung cepat dan segera"...Allah telah menjawab doa papi.
dalam alami
bukan lantaran digali
sekian kapal datang dan pergi
bahkan tertambat berbilang hari
tlah ribuan, mungkin lebih
tangan dilambai mengantar terkasih
Di kotaku ada pelabuhan...
dari tempat kau berdiri
hingga sejauh tenggelamnya mentari
pandanglah dengan teliti
niscaya kau lihat air yang jernih
bersih biru belum dicemari
tempat langit berkaca diri
Di kotaku ada pelabuhan...
sampai terakhir kutinggal pergi
berita yang kudapat tak pernah berhenti
dulu pernah aku berjanji
jika kelak kembali pasti kusambangi
bersama ayah, ibu, kakak dan adik
mengulang cerita, dahulu hingga kini
Di kotaku ada pelabuhan...
indah memang...
cuma sekarang, rasanya tak ingin aku pulang
bila mesti mengulang cerita tanpa satu pemeran
karena ayahku sudah duluan "menyeberang"
dan aku tak sempat melambaikan tangan...
Jakarta, 27 Mei 2005
Untuk Papi,
semoga Allah mengampuni dosa-dosamu,
melapangkan tempat diammu,
mencintaimu sebagaimana papi mencintai kami
anak-anakmu, Amin...
Ada hal yang selalu saya hindari untuk menulisnya di blog...berpulangnya papi ke rahmatullah, kembali kepada Sang Pemilik kehidupan ini. (kami memanggil ayah ibu kami dengan papi mami bukan untuk gaya-gaya'an...di Sulawesi Utara, tempat kami lahir dan dibesarkan, pangilan ini yang umum di gunakan, justru jika kita memanggil dengan ayah ibu akan dianggap gaya-gaya'an, hal ini menjadi kebalikan di Jakarta).
Kesedihan selalu saja mendahului saya sebelum sempat menyentuh keyboard PC saya untuk menulisnya.
Hari ini keinginan untuk menulis hari duka itu mengalahkan kesedihan saya...walaupun tidak pergi jauh, mungkin hanya menepi disudut hati saya, karena sekarangpun dia sudah berusaha mengambil posisi ditengah lagi.
Setiap mengingat saat pertama kali saya diberi kabar meninggalnya beliau oleh tante saya lewat telepon, jam 11.30 malam...rasanya seperti diambil sebagian raga ini.
Masih sangat jelas di ingatan saya,...saat itu hari Jumat, tanggal 17 Desember 2004, jam 9.15 malam, papi menelpon saya ke HP, beliau baru saja tiba di Jakarta, di rumah papi mami di Tanjung Priok, jam 7.00 malam, setelah seminggu berada di Palu menengok Ibunda beliau yang sedang sakit.
Pembicaraan kami sekitar kabar di kampung beliau cukup lama, sekitar 10 menitan. Kata-kata terakhir papi di telepon adalah "nanti aja kita ngobrol lagi hari Minggu nanti"...hari Minggu kami memang berencana mengadakan syukuran ulang tahun ke-1 tahun anak kedua kami, Lila (lahir 13 Desember 2003), syukurannya sengaja kami mundurkan supaya papi bisa hadir.
Tapi itu ternyata menjadi percakapan saya yang terakhir dengan papi. Kurang lebih dua jam setelah itu, papi dipanggil menghadap Sang Khalik.
Innalillahi wa innaillaihi roji'un. Kepergian yang tenang di kamar yang hanya di temani isterinya tercinta, mami kami (adik saya sudah berlari keluar rumah meminta pertolongan tetangga)...tidak ada erangan kesakitan, hanya matanya yang menatap mami kami terus...lalu kemudian menutup seolah tidur (Ya Allah, semoga itu menjadi petunjuk akhir yang Khusnul Khotimah).
Kesedihan tak sempat melihat saat terakhir beliau, tak sempat membimbing beliau mengucapkan talqin, tak sempat mencium tangannya untuk meminta ampun...selalu kusesali.
Tapi itu mungkin jawaban dari doa-doanya yg sering beliau ucapkan dalam shalatnya yang kami tahu dari mami, "papi selalu berdoa semoga saat papi meninggal tidak merepotkan orang banyak, berlagsung cepat dan segera"...Allah telah menjawab doa papi.
No comments :
Post a Comment