Tuesday, November 22, 2011

Curhat Cina-Muslim-Indonesia: Tentang Ashabiyah dan Mental Terjajah Muslim Indonesia

Tulisan dibawah ini saya ambil dari blog http://maf1453.com

Nama saya Felix Y. Siauw, kelahiran Palembang 26 tahun yang lalu, dan setidaknya dalam jangka waktu yang lebih dari ¼ abad itu saya sudah merasakan banyak sekali kesulitan dan kebahagiaan hidup. Setidaknya ada 4 momen paling bahagia bagi saya, yaitu tahun 2002 ketika saya memutuskan untuk mengganti keyakinan dengan mengakui Allah swt, sebagai satu-satunya Tuhan dan sesembahan.

Tahun 2006 ketika saya menikahi seorang muslimah yang kelak memberikan saya 2 momen bahagia lagi; kelahiran Alila Shaffiya asy-Syarifah pada tahun 2008 dan Shifr Muhammad al-Fatih 1453 pada tahun 2010.

Dari nama yang saya publish, sebagian besar pasti memahami bahwasanya saya tergolong etnis Cina. Dan inilah salah satu sebab kenapa saya menulis tulisan ini, disamping alasan utamanya adalah karena kewajiban mendakwahkan Islam dan pemikiran-pemikirannya ke seluruh dunia.

Ini adalah sebuah curahan hati dan aduan serta penjelasan dari seorang Ayah, Muslim-“Cina”. Walaupun banyak kasus lain yang saya alami berkaitan dengan ide bid’ah nasionalisme yang diwariskan Belanda dan Barat, saya akan sedikit memfokuskan pada satu kisah yang baru saja saya alami.

Berawal ketika Istri saya yang melahirkan anak keduanya di RS. Budi Kemuliaan Jakarta Pusat, setelah itu seperti biasa, atas nama pribadi ada beberapa karyawan yang menawarkan jasa pembuatan akte kelahiran putra saya. Dan kami pun menyambut baik tawaran yang dibandrol dengan harga Rp. 100.000. Tak berapa lama, setelah karyawan tadi melihat fisik saya, lalu dia bertanya pada istri:

“Bu, bapaknya muslim bukan? keturunan ya?”

“Muslim kok, emang kenapa mbak?” Jawab istri saya santai,

“Nikahnya pake cara Islam kan?, karena kalo nikahnya beda agama susah ngurusnya bu, dan beda juga biayanya..”

“Ya Islam lah, bedanya apa mbak”, sedikit terintimidasi, Istri saya tetap berusaha santai

“Kalo pribumi 100.000 kalo keturunan 250.000”

Setelah memberitahu saya perihal percakapan ini, dengan agak kesal saya pun mencoba membuktikan perkataan istri saya tadi. Ternyata benar, ada diskriminasi kepengurusan akte kelahiran, dan dokumen yang diperlukan pun lebih daripada yang biasanya.

Walau saya desak dengan berbagai dalil, termasuk dengan dalil bahwa penghapusan istilah WNI Keturunan sudah dilakukan, tetap saja tidak ada penjelasan yang memadai kepada saya. Bertambah kekesalan saya, maka saya memutuskan untuk mengurus sendiri akte kelahiran anak kedua saya. Bukan masalah uang, ini masalah ide kufur yang tidak perlu diberikan ruang toleransi.

Langkah pertama adalah melakukan browsing ke Internet ke alamat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil; www.kependudukancapil.go.id, dan di situ saya mendapatkan informasi bahwa pembuatan akte kelahiran biayanya gratis s/d Rp. 5000.

Dan syaratnya: Surat Keterangan Lahir, KK, KTP Orangtua, dan Surat Pengantar RT/RW yang dilegalkan Kelurahan. Ternyata setelah saya datang pada hari Rabu, 07 Juli 2010, petugas malah meminta akte kelahiran untuk dikonfirmasi apakah saya warga keturunan atau bukan. Dan sekali lagi saya katakan bahwa urusan keturunan sudah tidak ada, semua yang dilahirkan di tanah Indonesia adalah WNI.

Dan setelah itu akhirnya saya tetap diminta membayar Rp. 70.000, sebelum membayar saya menanyakan bukti pembayarannya, sedikit gagap petugas menyatakan bahwa lembar bukti penyerahan dokumen sudah dianggap menjadi bukti pembayaran (nanti coba kita liat ya). Dan yang paling menyakitkan, ditulis lagi dalam keterangan permintaan akte kelahiran bahwa anak saya termasuk Stbld. 1917.

Lalu dengan serius saya tanyakan: “Masih berlaku tuh stbld?”

“Oh masih pak, semuanya harus ditulis begitu”

“Oh gitu, kirain jaman belanda aja pake stbld!” sindiran dari saya yang tampaknya tidak dipahami petugas bersangkutan.

Ok, cukup cerita pendahuluan saya, sekarang kita masuk ke pokok pembahasan.

1. Inilah budaya pegawai negeri Indonesia yang jauh dari kesan profesional dan korup, birokrasi yang terbiasa tidak jujur dan selalu mencari kesempatan atas minimnya data yang mereka beri kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Sehingga seolah-olah masyarakat yang harus membayar mereka karena pelayanan itu, padahal pelayanan mereka sudah dibayar oleh negara.

Sampai setelah saya membayar Rp. 70.000 itu, saya tidak mengetahui kemana uang ini dialokasikan, dan parahnya yang menerima uang ini adalah muslim. Saya terima kalau yang melakukan korupsi ini bila bukan muslim, tapi pelakunya sekali lagi adalah muslim, yang seharusnya menjadi pekerja yang paling jujur karena aqidahnya memerintahkan begitu

2. Budaya rasialis dan nasionalisme kampungan rupanya masih menjadi mental ummat Islam saat ini. Mereka membedakan antara pribumi dan keturunan. Tanpa mereka ketahui bahwa cara ini adalah strategi utama belanda dalam melakukan politik divide et impera dan menghancurkan sendi ekonomi dan masyarakat.

Politik rasialis ini dimulai ketika VOC dan Pemerintah Belanda membagi kelompok masyarakat menjadi Inlander (pribumi) dan Vreemde Oosterlinge (Orang Timur Asing, termasuk Cina, Arab dan India) (lihat http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/3523), lalu memberikan akses ekonomi kepada Vreemde Oosterlinge terutama orang Cina sehingga pecahlah permusuhan dan kebencian antara Inlander dan Vreemde Oosterlinge (lihat Buku Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara).

Politik rasialis ini bahkan dimulai semenjak awal pencatatan akta kelahiran dengan membedakan antara Inlander dan Vreemde Oosterlinge, antara agama penjajah Belanda Kristen dan Katolik serta Islam. Lihat saja akte kelahiran Anda yang muslim pribumi akan mendapatkan kode Stbld. 1920, sedangakan yang nasrani pribumi mendapatkan kode Stbld. 1933, warga keturunan dari timur (Cina, Arab, India, dan lainnya) dengan Stbld. 1917 (lihat http://www.jasaumum.com/akteKelahiran.htm). Akta kelahiran inilah yang menjadi dasar dalam perbedaan perilaku penjajah Belanda dalam masalah pendidikan, pekerjaan dan status sosial.

Sayangnya (baca: bodohnya), pemerintah Indonesia justru mengadopsi Stbld. (Staatsblad, artinya Peraturan Pemerintah Belanda) menjadi aturan dalam pencatatan kelahiran yang otomatis dari awal sudah membedakan membuat rasial penduduknya berdasarkan cara penjajah Belanda membedakannya.

Jadi ketahuan sekali bahwa negara kita secara hukum dan ekonomi masih terjajah dan samasekali belum merdeka. Nah, wajar kan kalau kita liat konflik horizontal maupun vertikal atas nama etnis masih terjadi di negeri ini? karena memang dari awal pemerintah Indonesia sudah meniatkannya. Membebek penjajah Belanda. Dan hampir sebagian besar hukum kita adalah adopsi Belanda.

Belum puas rupanya dijajah 350 tahun?!

Inilah ikatan-ikatan yang merusak dan terbukti menimbulkan perpecahan dan konflik yang tak berkesudahan. Ikatan yang muncul dari pemikiran yang dangkal dan sempit. Ikatan etnisitas, kekauman dan juga termasuk ikatan nasionalisme kampungan. Ikatan inilah yang menyebabkan muslim Indonesia tidak memperdulikan muslim Palestina hanya karena dibatasi oleh garis-garis khayal batas negara.

Ikatan ini juga yang memenangkan penjajah Belanda ketika membelah ummat Islam Indonesia atas nama etnis. Dan ikatan ini pula yang menyebabkan Arab Saudi, Yordan, Turki, Mesir, Irak, Iran dan semua negara muslim saat ini terpecah belah padahal dahulunya mereka adalah satu kekuatan. Inilah sebuah ikatan palsu yang harus dimusnahkan: fanatisme golongan, bangsa dan semacamnya yang kita kenal dengan kata ashabiyah.

Padahal Rasulullah dengan sangat jelas telah mewanti-wanti agar kita jangan membedakan diri berdasarkan sesuatu yang tidak pernah dipilih manusia atau bagian dari qadar Allah.

Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada wajah kalian dan tidak pula kepada bentuk tubuh kalian, akan tetapi Allah melihat qalbu (akal dan hati) kalian dan perbuatan kalian (HR Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurrairah)

Maka benarlah dalam aturan kewarganegaraan Daulah Madinah ketika Rasulullah saw. menjadi kepala negara, beliau saw. hanya membedakan 2 jenis penduduk; muslim dan kafir. Begitu pula yang dilaksanakan Khulafaur Rasyidin setelah beliau dan Khalifah-khalifah setelah mereka sampai runtuhnya Daulah Khilafah Islam Utsmaniyah tahun 1924. Artinya pembedaan kewarganegraan adalah berdasarkan pengakuannya atas Islam, bukan yang lain seperti fanatisme golongan atau bangsa.

Juga larangan sempurna dari Rasulullah atas sikap fanatisme golongan, bangsa dan semacamnya yang dirangkum dalam larangan ashabiyah.

Siapa saja yang berperang di bawah panji kebodohan marah karena suku, atau menyeru kepada suku atau membela suku lalu terbunuh maka ia terbunuh secara jahiliyah (HR Muslim)

Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah (HR Abu Dawud)

Tidak ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan karena tanah air. Dan tidak halal seorang muslim merasa fanatik (ta’ashub) karena warna kulitnya melebihi kulit orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena daerahnya melebihi daerah orang lain. Pribumi ataupun keturunan. Bahkan Islam menaruh ikatan semacam ini dalam posisi yang paling rendah karena pemikiran semacam ini adalah batil.

Tapi inilah kondisi masyarakat dan ummat, mereka mempunyai cap tertentu bagi etnis tertentu, dan akhirnya bukan melihat karena ketakwaannya tetapi karena bentuk wajahnya. Hanya karena seseorang berwajah Arab lantas setiap bertemu tangannya dicium, karena persangkaan bahwa arab identik dengan Islam (ironis).

Hanya karena seseorang berwajah Cina lantas diidentikkan dengan kafir? (lebih ironis), lebih aneh lagi kalau ketemu bule semuanya serba senang, sumringah dan berjalan menunduk (kacau).

Inilah mental-mental terjajah, mental yang sangat ridha dan bangga kepada negara yang menjajahnya tapi lupa sama sekali dengan Tuhan yang menciptakan dirinya dan memberinya kenikmatan. Padahal kita semua sebagai muslim tidak diseru kecuali berpegang pada aqidah yang satu, ikatan yang satu, perintah yang satu dan kepemimpinan yang satu. Tauhid dalam segala bidang.

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (QS ali Imraan [3]: 103)

Seandainya saja Rasulullah masih ada, maka tentu dia akan menghapuskan segala macam diskriminasi dan rasialisme yang diwariskan dunia Barat kepada kaum muslim. Seandainya saja Umar bin Khattab masih ada, maka pastilah beliau sendiri yang akan menghunus pedangnya untuk memenggal penyeru ashabiyah.

Tapi mereka telah tiada, namun bukan tanpa warisan. Rasulullah menyiapkan sebuah sistem buat ummatnya agar ummatnya dapat bersatu padu dan kuat dalam satu kepemimpinan di seluruh dunia. Insya Allah saat Khilafah Islam tegak satu saat nanti, Khalifah lah yang akan mengomando kaum muslim membunuh ashabiyah.

Friday, November 4, 2011

Menunggu Maut di Mogadishu...

Judul diatas bukan sekedar pemantik keingintahuan orang untuk membaca, tidak!, itu betul - betul bermakna sebagaimana tertulis...masih berkaca mata ini setelah membaca laporan perjalan Suryo Adhiatmoko yang mewakili PPPA Daarul Quran, ke Somalia...bacalah, kemudian kita akan tahu bahwa kita teramat sangat beruntung....


Oleh: Sunaryo Adhiatmoko

Jumat, 21 Oktober lalu, menginjak hari keempat saya diMogadishu, Somalia. Saya mewakili PPPA Daarul Quran yang sinergi dengan para ulama dari Afrika Selatan. Pagi itu, di kamp pengungsian Dallada, Tarbuunka, lima kilo meter dari Mogadishu yang dihuni 6.000 lebih keluarga. Seorang ibu, dengan jilbab hitam dan raut muka pucat, tergopoh menghampiri. Ia bersimpuh, meratap, dan memecah tangis di hadapan saya.

“Anaknya baru saja meninggal. Ini anaknya yang kedua meninggal dalam bulan ini”, terang Maxamed Cusman, penterjemah saya di Somalia.

Perempuan itu, bersama keluarganya datang dari desa di Baydhabo, sekitar 150 km dari Mogadishu yang datang ke kamp dengan berjalan kaki.

“Setiap hari di kamp ini selalu ada yang meninggal”, kata Cusman.

Siapapun yang melihat kehidupan di kamp itu, hatinya pasti remuk. Tak ada yang bisa saya perbuat, kecuali berdoa. Kemudian, deras pulalah air mata ini di hadapan ribuan orang yang lapar menunggu maut di kamp itu. Tak banyak kata, kematian yang tiap hari terjadi tak memantik orang-orang di kamp untuk terlalu risau. Mereka seakan paham, pada saatnya kematian berikutnya hanya giliran, selama suplai makanan tidak datang ke kamp pengungsian.

Setiap hari di kamp-kamp pengungsian selalu ada yang meninggal terutama anak-anak. Dengan terisak, ibu malang itu, kembali ke tendanya yang terbuat dari ranting-ranting kayu, dengan atap plastik seadanya. Luasnya tak lebih dari 2 x 2 meter yang dibuat mirip payung. Di dalam tenda, jasad bocah laki-laki 10 tahun, menggelepar tanpa nyawa di atas tanah. Tubuhnya kurus, penuh luka cacar yang baunya menyengat.

Masih dengan derai air mata, ia gali tanah di samping tenda. Jenazah bocah itu pun, dikubur apa adanya, tanpa prosesi pemakaman yang layak. Lengkaplah, tragedi kemanusiaan memilukan itu, terpampang di depan mata. Usai dikubur, perempuan paruh baya itu, tertunduk memeluk lutut. Tangisnya tak henti, sampai saya tinggalkan tendanya dengan perasaan terkoyak.

Di sudut tenda yang lain, seorang anak perempuan 12 tahun berbaring lemas di atas tanah, beralas selembar kain lusuh. Tulangnya menyembul, tubuh jangkungnya meranggas tanpa daging. Matanya menatap langit, seakan menanti malaikat penjemput maut datang.

Dalam catatan Maxamed Cusman, ketika para pengungsi itu datang ke kamp, sebagian postur tubuhnya masih cukup bagus. Pada hari-hari berikutnya, setiap tubuh manusia dalam kamp itu akan menyusut, mengering, kemudian berakhir di tanah kamp pengungsian.

“Saya tak tahu kenapa kami mengalami tragedi kelaparan ini”, ungkap Cusman.
“Setiap hari, kami melihat satu per satu di antara kami mmeninggal di Mogadishu. Tak hanya anak-anak, tapi juga dewasa”, Cusman berkaca-kaca.

Mogadishu yang tak lebih luas dari Jakarta itu, telah dikepung sekitar 40 kamp pengungsian.

Ikhtiar Kemanusiaan

Somalia, telah membetot perhatian masyarakat dunia. Semua hati tergugah, melihat tiap hari anak manusia meninggal kelaparan. Demikian pula, sebagian masyarakat yang menjadi keluarga besar PPPA Daarul Qur’an menyisihkan sesuap nasinya, untuk dibagi pada masyarakat Somalia. Tanpa mengurangi perhatian, pada sebagian masyarakat Indonesia yang sedang kesulitan. Pun, kita juga tak boleh menjadi batu, atas peran masyarakat di negara lain yang berduyun-duyun membantu tsunami Aceh, gempa Yogyakarta, dan tatar kebencanaan lain di Indonesia yang selalu memantik kepedulian dari manusia-manusia di belahan negara lain untuk membantu.

Dengan bantuan Rp 300 juta, PPPA Daarul Qur’an menuju Cape Town, Afrika Selatan, sebelum menuju Somalia. Di Cape Town, ikhtiar dilakukan, dengan menggalang sinergi bersama organisasi Islam di Afrika Selatan.

Terbentuk “Save Somalia” yang terdiri dari PPPA Daarul Qur’an (Indonesia), Muslim Judicial Council (MJC), Darul Islam Zakah Fund, dan Al-Quds Foundation. Kami merancang program yang melibatkan para ulama Afrika Selatan dan ulama Somalia yang ada di Afrika Selatan.

Dua pekan di Afrika Selatan, PPPA bersama para ulama Afrika Selatan ngamen dari masjid ke masjid, dari acara pengajian ke acara pertemuan orang mau naik haji. Cara tradisional dengan menenteng gentong plastik ukuran besar, kami lakukan. Kami berguman, jika pada akhirnya anak-anak Somalia terus meninggal, setidaknya kami yang jauh pernah berusaha menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Itu niat sederhananya.

Kami ngamen dengan gentong plastik besar selain juga datang dari masjid ke masjid yang ada di Cape Town. Dalam dua pekan itu, kami punya target Rp 1 miliar. Maka, tepat menjelang keberangkatan tanggal 17 Oktober, dengan pancingan dana awal Rp 300 juta dari Indonesia, kami dapat menghimpun Rp 1 miliar.

Sebelum berangkat, kami melakukan pertemuan yang dihadiri sekitar 1000 orang Somalia dan para ulamanya yang di Afrika Selatan dan para ulama dari Afrika Selatan sendiri, ditambah PPPA Daarul Qur’an. Dalam pertemuan itu, kami menyerukan perdamaian bagi Somalia. Tanpa berdamai, tragedi kelaparan ini sulit dicari solusinya, karena relawan yang membawa bantuan kemanusiaan selalu terancam jiwanya di Somalia.

Masak untuk Pengungsi

Menyusuri kamp-kamp di Mogadishu, Somalia, akan banyak gundukan tanah yang mengubur jasad mereka yang tak mampu bertahan melawan lapar. Tidak ada air dan tak ada suplai makanan rutin, masuk ke kamp-kamp pengungsian di Mogadishu. Perang saudara membuat semua makin sulit. Bantuan kemanusiaan, juga tak mudah masuk langsung ke Somalia. Semua orang asing yang masuk Somalia, wajib menyewa tentara bayaran yang tarifnya 200 US Dollar per hari. Tak ada negosiasi untuk keamanan ini, tapi, saya dan rombongan pernah nego nyawa untuk menurunkan tarif.

Dataran somalia memang sedang kering. Masyarakat setempat mengatakan, hujan terakhir tiga tahun lalu. Pertanian menguning, menyisakan debu. Ternak-ternak mati kelaparan dan semua orang meninggalkan rumahnya, menuju Mogadishu atau Kamp pengungsian di Kenya. Ratusan kilo meter jalan ditempuh, sebagian banyak yang meninggal di perjalanan.

Di Somalia, hanya ada sekitar dua daerah yang dialiri sungai, SH/Dhexe dan SH/Hoose. Dari daerah itulah, suplai makanan di Mogadishu. Tapi, itu tak mampu untuk mencukupi jumlah pengungsi yang sudah mencapai jutaan jiwa. Kondisi kamp tak hanya tanpa makanan, tapi juga tanpa medis, dan MCK yang memadai. Jutaan jiwa manusia terpanggang matahari berhari-hari. Mereka terkepung, dalam penjara kelaparan akut dan deru mesiu perang saudara yang meletup tiap saat.

Di Mogadishu, kami punya target 9 hari. Program yang dijalankan, masak dari kamp ke kamp. Ada tiga kamp yang kami suplai kebutuhan makannya untuk jangka satu bulan. Yakni, Kamp Tarbuunka, Kamp Baadle, dan Kamp Thoro-thoro. Setelah 9 hari itu, program pemberian makan dilanjutkan mitra lokal dari Al-Kahfi Welfare Foundation yang bermarkas di Mogadishu. Tak lupa, di setiap kamp kami juga memotong unta, sebagai lauk nya dengan menu nasi kebuli. Menurut masyarakat setempat, daging unta adalah daging nomor satu.

Di Kamp Tarbuunka, saya bertanya pada sebagian pengungsi. “Kapan terakhir kali makan?”.
Mereka serentak menjawab, “Empat hari lalu”.

Saya lantas membisu, menunduk malu. Tapi, obat hati yang remuk selama di Mogadishu adalah, saya dan para ulama dari Afrika Selatan, diberi kesempatan masak selezat mungkin. Setelah nasi kebuli dengan daging unta matang, ribuan orang antri untuk dapat jatah makanan. Satu per satu, mereka menadahkan panci, ember, dan kantong plastik. Kami bertatap mata sejenak, mendadak semua bisa tersenyum hari itu.

Saya tahu, senyum itu sesaat. Karena besuk, mereka masih harus bertahan hidup. Sementara sesuap nasi yang kami masak hari itu, hanyalah pelipur perihnya perut dan pedihnya derita kelaparan, untuk beberapa jam saja.

Hari ini, saat saya dan rombongan kembali ke rumah, menyantap hidangan bergizi, bercengkerama dengan anak dan istri, mereka dipanggang terik kemarau dan rintihan kelaparan yang diintai maut setiap hari.

Maafkan, hanya ini yang bisa kami lakukan.

Bad Baadi Somalia...(selamatkan Somalia), itu bisik kalian saat kami gontai tinggalkan Mogadishu.