Wednesday, November 21, 2007

“Edensor”: Bermimpilah!


Menggugah imajinasi, membawa hayal menembus batas mimpi! Itu kesan saya terhadap novel "Edensor" karya Andrea Hirata. Padahal saya cuma baca resensinya saja dari blognya Seta. Wuih! gimana kalo' baca novelnya ya?. Ini neh resensinya.



Jalan-jalan desa menanjak berliku-liku dihiasi deretan pohon oak berselang-seling di antara jerejak anggur yang ditelantarkan. Lebah madu berdengung mengerubuti petunia. Daffodil dan astuaria tumbuh sepanjang pagar peternakan, berdesakan di celah-celah bangku batu. Di belakang rumah penduduk tumpah ruah dedaunan berwarna orange, mendayu-dayu karena belaian angin. Lalu terbentang luas padang rumput, permukaannya ditebari awan-awan kapas… (hal. 274)

#

Aku bergegas meminta sopir berhenti dan menghambur ke luar. Ribuan fragmen ingatan akan keindahan tempat ini selama belasan tahun, tiba-tiba tersintesa persis di depan mataku, indah tak terperi.

Kepada seorang ibu yang lewat aku bertanya, “Ibu, dapatkah memberi tahuku nama tempat ini?”

Ia menatapku lembut, lalu menjawab.

“Sure lof, it’s Edensor …” (hal. 288)

#

Ya, tidak salah memang, "Edensor" adalah nama sebuah desa khayalan yang dikutip dari novel karya Herriot, “Seandainya Mereka Bisa Bicara”, kenangan A Ling untuk Ikal—sang tokoh protagonis. Khayalan terhadap desa ini telah menghantarkan Ikal (dan Arai) menjelajahi setiap jengkal tanah di Benua Biru—Eropa, hingga menjamah Gurun Sahara dan Zaire di Benua Hitam—Afrika.

#

Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.

Itulah kata kunci yang menjadi benang merah novel “Edensor”. Novel ketiga dari tetralogi “Laskar Pelangi” (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov) karya Andrea Hirata, alumni FE UI yang mendapat beasiswa Uni Eropa untuk studi master of science di Université de Paris, Sorbonne, Prancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom.

Kalau novel pertama “Laskar Pelangi” berkisah tentang masa kecil para Laskar Pelangi dengan latar SD Muhammadiyah nun jauh di kampung halamannya di pesisir Belitong (Provinsi Babel) sana, dan novel kedua, “Sang Pemimpi” bercerita mengenai Ikal saat merantau ke Jakarta, maka “Edensor” mengupas kehidupan Ikal dan Arai semasa menempuh kuliah di Université de Paris, Sorbonne, Prancis dan petualangan-petualangan gilanya menaklukkan 31 negara di dataran Eropa dan separo Afrika dengan cara mengamen menjadi manusia patung ikan duyung untuk membiayainya.

Berbekal visa Schengen-nya yang memungkinkan seseorang bebas keluar masuk banyak negara Eropa, kita akan diajak berkeliling benua Biru itu dengan segudang keunikan masing-masing kota di setiap negara yang disinggahi Ikal dan Aray.

Dimulai dari Groningen’s Red Zone—sebuah kompleks lokalisasi di ujung utara Belanda. Membungkus diri dalam sleeping bag di sudut stasiun Kõln—Jerman. Menjelajah kawasan Skandinavia—dari Denmark, Swedia, Norwegia, Islandia, hingga kota terakhir Helsinky di Finlandia. Terlunta-lunta dan kelaparan berbulan-bulan di pedalaman miskin negeri Beruang Merah yang terbentang belasan ribu kilometer dari Belomorsk di titik paling timur hingga Olovyannaya di ujung paling barat Rusia. Singgah ke ujung dunia—Belush’ye, yang berada di Taiga Siberia, bagian dari Siberia yang paling pelosok berbatasan langsung dengan Samudra Artik dan Kutub Utara yang jika musim dingin suhunya merosot hingga minus 46 derajat celcius.

Berdiri di atas kapal fery di tengah Laut Kaspia dan tiba di Akropolis, gudangnya para filosof dunia itu—Yunani. Melintasi negeri-negeri Balkan dan nyaris kehilangan nyawa saat di rampok kawanan begundal di kota terpencil nan kumuh Crainova, di pelosok Rumania. Menyebrangi Laut Baltik dari pelabuhan Estonia ke Hamburg—Jerman, dan kembali menjelajah Eropa Barat menerobos Genewa, Swiss.

Bertatap muka dengan Oruzgan Mourad Karzani di Austria, pahlawan besar Balloch yang menumbangkan resimen Tentara Merah di Lembah Towraghondi tahun 1988. Salah satu penentu hengkangnya Rusia setelah dua belas tahun menginvansi Afganistan. Oruzgan adalah pejuang Mujahiddin yang mendapat suaka politik di Austria setelah bertikai dengan Aliansi Utara milisi Taliban.

Kemudian kita diajak singgah di Venesia dengan gondola-gondola yang meluncur syahdu di kanal-kanal yang berkilauan. Mengunjungi Colosseum Verona, tempat dimana konon William Shakespeare menulis kisah cinta terbesar dalam sejarah umat: Romeo and Juliette. Kemudian bertemu dengan Andrea Galliano—seorang wanita Italia yang dulu pernah dianggap sinting karena memanjat tiang telepon dan mengancam menerjunkan diri jika Elvis Presley—artis pujaannya, tak membalas suratnya, di Milan.

Oi, kalian percaya tidak kalau ternyata nama depan Andrea Hirata diambil dari nama depan wanita Italiano itu?

Begitulah, dari Milan, Ikal dan Arai akan memaksa kita menuju Jembatan Ponte Vechio di Florence di selatan Italia yang sangat unik karena lengan-lengan jembatan itu dilekati rumah-rumah penduduk berusia ratusan tahun, bertingkat-tingkat seperti kandang merpati. Dan, akhirnya terdampar di Mesina, kota sarang gembong mafia di Negeri Pizza, di Pulau Sisilia.

Tidak puas di daratan Eropa, mereka melintasi Kanal Sisilia, Pulau Sardinia, dan Pantai Malta untuk kemudian merapat di Dermaga Kelibia, Tunisia, gerbang utara Afrika.

Selamat Datang di Benua Hitam!

#

Jika buku-buku motivasi menguraikan banyak hal yang hanya berhenti sampai pada tataran teori, maka novel “Edensor” ini adalah sebuah kitab provokasi yang proven karena penulisannya terinspirasi oleh perjalanan hidup Andrea Hirata sendiri.

Pembuktian bahwa sekecil apapun mimpi-mimpi yang pernah kita miliki di masa lalu dan saat ini merupakan energi terdahsyat yang akan membawa kita untuk meraihnya di masa yang akan datang. Bahwa tidak ada hal sekecil apa pun terjadi karena kebetulan. Bahwa mimpi-mimpi masa kecil mampu menjadi pemain utama dalam pengembaraan nasib.

#

Dalam novel ini, kita juga akan menemukan kekhasan Andrea Hirata yang kampiun dalam bermetafora, pesan-pesan bijak dan akhir tiap mozaik yang mengejutkan dan penuh ironi menggelitik nan satire yang sungguh akan membuat kita terpingkal-pingkal—tertawa sampai menggigil.

Seperti kutipan di bawah ini, yang terdapat pada mozaik 38 “Enam Belas Tahun Tuhan Menunggu” hal. 243-244.

….

Sejak imam mengucapkan basmallah, aku dan Arai terpejam, khusyuk. Suara imam mendayu dalam masjid yang senyap. Aku dan Arai terhanyut. Senandungnya perlahan membawaku melayang ke Masjid Al-Hikmah di kampungku di Belitong, sebab lekukan tajwid, gaya, dan lagu imam sangat mirip dengan senandung imam kampung kami, Taikong Hamim. Ayat demi ayat mengalir, membelai-belai dan aku tercabut dari masjid itu. Aku serasa berdiri bersama puluhan anak Melayu di shaf belakang Masjid Al-Hikmah. Suasana tentram dan damai.

Namun ketika Imam Oruzgan sampai pada ayat terakhir Al-Fatihah, Waladh-dhoooolliiiin …. kekhusyukanku sontak berantakan. Aku terperanjat mendengar jeritan panjang, nyaring meliuk-liuk, seperti serigala mengundang kawin.

“Aaammmiiinnn … mmmmmiiinn … mmiiiiiiiinnnnn … mmmiiiiiiiiiinnnn ….”

Rupanya Arai melolong seperti dulu sering dilakukannya di Masjid Al-Hikmah untuk mengejek Taikong. Aku lebih kaget lagi karena suara amin itu hanya sendiri, sebab madzab yang dianut jamaah masjid ini hanya mengucapkan amin dalam hati. Suara Arai nyaring bergema-gema, meliuk-liuk, terpantul-pantul sendirian dari pilar ke pilar dalam ruangan besar itu. Di sebelahku tubuh Arai bergetar-getar hebat, kulitnya yang menempel padaku menjadi dingin, keringatnya mengalir deras, dan giginya gemelutuk. Mashood mendengus-dengus seperti kambing bengek. Ia pasti setengah mati menahan tawa.

Tuhan Tahu tapi Menunggu, kata Tolstoy. Enam belas tahun Tuhan menunggu untuk membalas kejahatan Arai dengan rasa malu yang tak tertanggungkan pada jemaah Afghanistan yang terhormat. Ribuan kilometer dari Masjid Al-Hikmah di Belitong, nun jauh di negeri yang sedikit pun tak pernah terbayangkan, karma menemui Arai. Usai shalat Arai menghampiri Imam, ia bersikap gentleman, memohon maaf dan mengatakan semua terjadi di luar kesadarannya.

“Sesuatu yang berasal dari keisengan masa kecil, Imamku,” kilahnya menyesal.

Imam tersenyum simpul.

“My brother,” sapanya halus. “Tak selembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan Allah.”

Kami bergegas kabur. Dari kejauhan kulihat segerombolan besar orang tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut, sampai terduduk-duduk. Mashood tergopoh-gopoh meraih sepeda ontelnya, pontang-panting menyusul kami.

“Brothers, brothers ….

“Very very goooood ….”

#

Dan, bagi Anda yang mempunyai mimpi—ya, hanya sebatas mimpi bolehlah seperti saya juga, untuk bisa menginjakkan kaki di Benua Biru, lebih khusus lagi dalam rangka melanjutkan studi, saya pikir “Edensor”—yang termasuk salah satu nominasi calon peraih Katulistiwa Award 2007, mungkin bisa menjadi sebuah referensi yang perlu untuk dibaca sekaligus menghibur.

Anda tidak percaya? Buktikan saja sendiri!

#

Selasa pagi, 20 November 2007 03:14 a.m


2 comments :

rootravelee said...

edensor..saya suka novelnya,
cerita journey nya mengesankan..
great novel bang..^_^

candra_a said...

luar biasa...
makasih ya,teman. berkat resensimu. aku jadi lebih mengetahui isi dari ceritanya, meski aku sudah baca novelnya....
kunjungi juga ya blogku.
http://www.candrasahabat.blogspot.com