Oleh Aksara Kauniyah
Di aras peradaban yang kikuk, pelajaran tentang kinasih bisa tanggal begitu lekas--selekas kemanusiaan yang terhuyung bak sekawanan pemabuk. Keperkasaan digunakan buat menumpas, seiring ketidakberdayaan menaklukkan asap masokhisme yang mengepul. Ada banyak yang merasa absah merakit kebencian, mengerahkan senapan, dan membiarkan tanah menjadi basah oleh darah dan kematian yang acap tak wajar.
Pesona kemajemukan budaya yang diagungkan para pemuja demokrasi tiba-tiba terbentur tembok tebal, tepat ketika aksentuasi barat--yang diwakili Amerika Serikat--merasa perlu jadi hegemoni yang menggerus lokalitas. Perbedaan mengalami ambivalensi pada saat manusia mesti memilih dua pendulum ekstrem tanpa median yang menengahi. Maka, mulailah kini sebuah proyek raksasa yang mengeroposi kemanusiaan dengan pilihan-pilihan irasional: berdiri bukan bersama yahudi adalah berdiri bersama teroris.
Barangkali, demikianlah kecenderungan hari-hari belakangan. Pertempuran yang berkecamuk antara gerombolan perang yahudi dan keperwiraan Libanon adalah potret yang mewakili kegelisahan banyak wajah. Keganasan yang digelar adalah ekspresi ketamakan sebuah kehendak untuk menggagahi, memburu petak demi petak tanah yang bukan milik sendiri. Seraya menghambur-hamburkan peluru bahkan untuk hal seagung religi. Requiem yang melintasi telinga terasa menyesak dada hingga ke sudut--kidung duka cita tanpa air mata menyisa. Inilah jaman yang menyejarah bukan karena kepatutan yang menyimpan keindahan buat dikenang, melainkan karena ada agama yang telah menunjukkan kemampuannya meperolok-olok derita dan kematian terhadap tak kurang 38 anak-anak tak berdaya dalam sekali hajar di kota Qana. Yahudi yang korban di saat silam, adalah yahudi yang pelaku kejahatan di hari sekarang.
Argumen yang mesti dihadapi kali ini adalah sebentuk totalitarianisme yang menggabungkan intelektualitas dan amuk massa yang mengedepankan gelora, semangat, dan hiruk pikuk kerumunan orang. Sesuatu yang terasa begitu mulia ketika bergabung dengan satu gairah, satu iman, satu kehendak, yang melampaui kesendirian. Sesuatu yang dicemaskan oleh Simone Weil sebagai "kami", yang membuat manusia kehilangan pribadi dan mesti disangkut paut dengan regu, kelompok, puak, sekte. Dunia "kami" adalah semacam cacat kekal yang menyulut diferensiasi dari "mereka"--dengan kesertamertaan yang menyublim segala beda jadi ancaman, musuh yang wajib punah. Totalitarianisme inilah yang berulang-ulang bergemuruh dalam sejarah, di bawah kendali Hitler di Jerman, Lenin di Rusia, Mao Zedong di China, dan kini hendak diparadekan kembali oleh tentara-tentara yahudi di atas tanah Palestina.
Tapi, apa lagi setelah itu, kecuali sekadar menyajikan sakramen dan ritualitas tentang kematian yang tak perlu. Ujungnya cuma noktah kekecewaan yang amat besar, pada sejarah yang seolah-oleh mengejek orang-orang di tepian nasib. Inilah hari-hari ketika peradaban dicegat akal budi dan nurani waras. Hari-hari ketika apa yang sebelumnya dianggap kokoh, nyata menyembunyikan kerapuhan dan kelapukan.
Melewati pengalaman demi pengalaman pedih dari masa silam, adalah cermin untuk sebuah pengakuan. Bahwa, meningkatnya pengetahuan manusia tentang banyak hal tidak diikuti oleh kemampuan untuk mengatasi berbagai perselisihan yang mungkin. Lembaga-lembaga dunia yang dikira mampu membangun sejenis pertahanan bagi tersedianya rasa aman, justru kian memicu perkembangan kelengkapan alat pemusnah massal. Hilangnya kewibawaan institusi telah didahului oleh kelakuan culas adi kuasa yang membikin banyak negara justru merasa kian tak nyaman. Sukar untuk terus mengharapkan sistem yang mampu menyingkirkan perang sejauh standard ganda digunakan untuk melihat perkara-perkara yang beranjak naik ke permukaan.
Awalnya, boleh jadi, adalah ekstremitas ketika kebenaran diamini cuma jadi milik sendiri. Ketidakmauan untuk mengerti--ketidakmauan menatap dari cara yang tak biasa, telah memiskinkan sahaja, meremas spirit toleransi, dan meruncingkan ketegangan. Gibranlah yang memperingati tentang orang-orang yang ketika mengatakan "Tuhan", maka yang sebenarnya dimaksud adalah kepentingan mereka sendiri. Inilah tragedi yang menarik ingatan melayang ke lebih dari satu dasawarsa silam. Saat langit Pebruari 1994, bertepatan dengan Ramadhan, kelam oleh patogen yang menjangkit manusia Baruch Goldstein. Lima puluh empat orang tewas seketika saat matahari belum lagi penuh menampakkan wajahnya di tanah Hebron, Palestina. Subuh berdarah yang berpijak di atas kepraktisan sepotong iman yang konyol: Sejuta orang arab tak seberharga sepotong kuku jari orang yahudi. Alhasil, ada kubangan di Masjid Ibrahim yang berisi darah dari kelimun orang yang pasrah, diam, tak bisa membalas luncuran 3 hower peluru dan 3 granat yang dilemparkan.
Tiba-tiba, kekinian merindui teladan dari yang silam. Tentang Shalahuddin yang datang dengan kehendak pembebasan Yerusalem pada musim panas 1187--keperkasaan yang justru bersikeras menghindari terhunusnya pedang-pedang yang usai tajam terasah. Maka, telah ia beri kesempatan pasukan perang lawan untuk menyongsong fajar pertempuran. Juga dibantunya Raja Richard menyembuhkan diri dari penyakit yang diidap--dengan seorang tabib dan sekeranjang buah pir. Dan, ketika musuh tetap kalah dihalau, tak ada penduduk dinistakan, tak ada orang sekonyong-konyong jadi budak dan direndahkan. Perlakuan berbeda yang sangat mencolok dibandingkan kelakuan pasukan Eropa di bawah kendali Godefroi de Bouillon, raja Perancis, yang sebelumnya menaklukkan Yerusalem pada 1099 dengan pembantaian massal terhadap tak kurang dari 70 ribu muslim yang digasak dan dibakar.
Barat selamanya tak sanggup menghapus ketakjuban yang ditinggalkan seorang Shalahuddin. Satu episode ketika sabar dan damai menyatukan segala yang tak sama di tanah Palestina. Satu periode yang dicemburui begitu hebat seraya mengingat tak satupun tempat di hari ini yang menyediakan arena bagi damai, sahaja, dan kerendahan hati. Setelahnya, Palestina tak lebih dari sekadar histeria pertikaian dan riwayat peperangan siklis yang urung berhenti. Tanah berdarah yang telah membuat banyak anak menjadi besar tanpa kehadiran sang ayah, atau ibu, yang biasa menceritakan tentang langit biru dan keindahan purnama di waktu malam. Era ganjil tentang perjalanan evolusi kemanusiaan yang mendadak bergerak meluncur ke belakang.
Sementara kebencian, kita ingin menolaknya sejak lama--tapi memang tak pernah benar-benar bisa menafikannya. Dengan suara lirih setengah berbisik Shalahuddin menyempatkan berpesan pada anaknya*, "Jangan sekali-kali tumpahkan darah, sebab darah yang terpercik tak akan pernah tertidur."
Hari ini. Serdadu-serdadu yahudi itu, sudah mendahului. Darah yang telah terpercik, telanjur tak akan pernah bisa tertidur lagi.
*Goenawan Mohamad, Saladin, Catatan Pinggir, Tempo, 19 Januari 1991.
No comments :
Post a Comment