Sungguh, tidak mudah menjadi terasing; bersendirian dalam keyakinan, ucapan, serta amalan. Sebab tabiat manusia yang sosial, menghajatkan penerimaan yang layak dari sekitarnya. Ia selalu mencari komunitasnya agar diterima dan selalu bertanya, di manakah manusia ramai berada. Seperti perkataan Ibnul Qayyim, "Inilah keadaan mayoritas manusia, keadaan yang seringkali menghancurkan mereka."
Memang tidak mudah mencari kesalahan mayoritas, sebab semuanya tampak benar dan baik-baik saja. Aneh rasanya berbeda dengan mereka. Padahal mereka sendiri tidak pernah bertanya tentang kebenaran keyakinan dan perbuatan mereka, bahkan juga tentang duduk masalah sebenarnya.
Ibarat ajaran kitab suci, penerimaannya diniscayakan, sedang penolakannya ditabukan. Mereka hanya menerima, melestarikan, dan membela apa yang ada. Mereka mencari siapa yang berbeda, karena ingin semuanya sama dan serupa. Mereka merasa telah menjadi pahlawan, meski entah untuk apa. Tapi siapa yang bisa menolak hidayah? Ketika ia menyinari dan menghidupkan kalbu, juga akal sehat.
Membuat segala persoalan menjadi benderang, sehingga semuanya tampak sebagaimana seharusnya. Kemudian memberinya energi untuk menggugat. Bahkan kepada kelaziman yang telah diterima bulat. Hasilnya adalah keyakinan dan keberanian. Sebab hidup yang hanya sekali, memang harus membuatnya berarti! Akan selalu berbeda antara hamba yang kalbunya disinari iman dengan manusia yang berada dalam kegelapan. Antara mereka yang "bernyawa" dengan mereka yang telah binasa.
Mereka tidak akan pernah sama selama langit dan bumi masih ada. Bahkan ketika saat menghadap-Nya di akhirat telah tiba. Bahkan akhir dan kesudahannya. Manusia yang mendapat nikmat, adalah hamba-hamba yang ikhlas menerima kebenaran. Kalbu mereka bersinar karena al-Quran, ilmu, dan petunjuk. Mereka berjalan di bumi menyusuri shirathal mustaqim.
Mereka pun pernah menjadi mayoritas pada zamannya. Ketika langit menyentuh bumi, hingga ajaran Sang Pencipta langit tidak lagi diingkari. Kita harus percaya bahwa mereka pernah ada. Bahwa keyakinan mereka pernah juga menjadi yang paling banyak pengikutnya. Dan bahwa, saat itu, kebenaran bukanlah sebuah kemustahilan. Hingga manusia-manusia durjanalah yang justru menjadi asing dan tak lazim.
Meski kini, kita tak lagi berada dalam situasi yang sama, bukan berarti kita boleh menyerah begitu saja. Sebab kita hidup untuk Sang Pencipta yang sama, sedang zaman bisa berubah semaunya. Membolak-ballikkan logika kebenaran, juga siapa yang mayoritas dan siapa yang minoritas. Kita ingin menjadi hamba yang mendapat nikmat, bukan manusia yang dilaknat, dan bukan pula manusia yang sesat. Kita ingin hidup ini bermakna, sebab untuk inilah, sesungguhnya, kita diciptakan dan ada!
Memang tidak mudah mencari kesalahan mayoritas, sebab semuanya tampak benar dan baik-baik saja. Aneh rasanya berbeda dengan mereka. Padahal mereka sendiri tidak pernah bertanya tentang kebenaran keyakinan dan perbuatan mereka, bahkan juga tentang duduk masalah sebenarnya.
Ibarat ajaran kitab suci, penerimaannya diniscayakan, sedang penolakannya ditabukan. Mereka hanya menerima, melestarikan, dan membela apa yang ada. Mereka mencari siapa yang berbeda, karena ingin semuanya sama dan serupa. Mereka merasa telah menjadi pahlawan, meski entah untuk apa. Tapi siapa yang bisa menolak hidayah? Ketika ia menyinari dan menghidupkan kalbu, juga akal sehat.
Membuat segala persoalan menjadi benderang, sehingga semuanya tampak sebagaimana seharusnya. Kemudian memberinya energi untuk menggugat. Bahkan kepada kelaziman yang telah diterima bulat. Hasilnya adalah keyakinan dan keberanian. Sebab hidup yang hanya sekali, memang harus membuatnya berarti! Akan selalu berbeda antara hamba yang kalbunya disinari iman dengan manusia yang berada dalam kegelapan. Antara mereka yang "bernyawa" dengan mereka yang telah binasa.
Mereka tidak akan pernah sama selama langit dan bumi masih ada. Bahkan ketika saat menghadap-Nya di akhirat telah tiba. Bahkan akhir dan kesudahannya. Manusia yang mendapat nikmat, adalah hamba-hamba yang ikhlas menerima kebenaran. Kalbu mereka bersinar karena al-Quran, ilmu, dan petunjuk. Mereka berjalan di bumi menyusuri shirathal mustaqim.
Mereka pun pernah menjadi mayoritas pada zamannya. Ketika langit menyentuh bumi, hingga ajaran Sang Pencipta langit tidak lagi diingkari. Kita harus percaya bahwa mereka pernah ada. Bahwa keyakinan mereka pernah juga menjadi yang paling banyak pengikutnya. Dan bahwa, saat itu, kebenaran bukanlah sebuah kemustahilan. Hingga manusia-manusia durjanalah yang justru menjadi asing dan tak lazim.
Meski kini, kita tak lagi berada dalam situasi yang sama, bukan berarti kita boleh menyerah begitu saja. Sebab kita hidup untuk Sang Pencipta yang sama, sedang zaman bisa berubah semaunya. Membolak-ballikkan logika kebenaran, juga siapa yang mayoritas dan siapa yang minoritas. Kita ingin menjadi hamba yang mendapat nikmat, bukan manusia yang dilaknat, dan bukan pula manusia yang sesat. Kita ingin hidup ini bermakna, sebab untuk inilah, sesungguhnya, kita diciptakan dan ada!
No comments :
Post a Comment