Wednesday, November 21, 2007

“Edensor”: Bermimpilah!


Menggugah imajinasi, membawa hayal menembus batas mimpi! Itu kesan saya terhadap novel "Edensor" karya Andrea Hirata. Padahal saya cuma baca resensinya saja dari blognya Seta. Wuih! gimana kalo' baca novelnya ya?. Ini neh resensinya.



Jalan-jalan desa menanjak berliku-liku dihiasi deretan pohon oak berselang-seling di antara jerejak anggur yang ditelantarkan. Lebah madu berdengung mengerubuti petunia. Daffodil dan astuaria tumbuh sepanjang pagar peternakan, berdesakan di celah-celah bangku batu. Di belakang rumah penduduk tumpah ruah dedaunan berwarna orange, mendayu-dayu karena belaian angin. Lalu terbentang luas padang rumput, permukaannya ditebari awan-awan kapas… (hal. 274)

#

Aku bergegas meminta sopir berhenti dan menghambur ke luar. Ribuan fragmen ingatan akan keindahan tempat ini selama belasan tahun, tiba-tiba tersintesa persis di depan mataku, indah tak terperi.

Kepada seorang ibu yang lewat aku bertanya, “Ibu, dapatkah memberi tahuku nama tempat ini?”

Ia menatapku lembut, lalu menjawab.

“Sure lof, it’s Edensor …” (hal. 288)

#

Ya, tidak salah memang, "Edensor" adalah nama sebuah desa khayalan yang dikutip dari novel karya Herriot, “Seandainya Mereka Bisa Bicara”, kenangan A Ling untuk Ikal—sang tokoh protagonis. Khayalan terhadap desa ini telah menghantarkan Ikal (dan Arai) menjelajahi setiap jengkal tanah di Benua Biru—Eropa, hingga menjamah Gurun Sahara dan Zaire di Benua Hitam—Afrika.

#

Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.

Itulah kata kunci yang menjadi benang merah novel “Edensor”. Novel ketiga dari tetralogi “Laskar Pelangi” (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov) karya Andrea Hirata, alumni FE UI yang mendapat beasiswa Uni Eropa untuk studi master of science di Université de Paris, Sorbonne, Prancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom.

Kalau novel pertama “Laskar Pelangi” berkisah tentang masa kecil para Laskar Pelangi dengan latar SD Muhammadiyah nun jauh di kampung halamannya di pesisir Belitong (Provinsi Babel) sana, dan novel kedua, “Sang Pemimpi” bercerita mengenai Ikal saat merantau ke Jakarta, maka “Edensor” mengupas kehidupan Ikal dan Arai semasa menempuh kuliah di Université de Paris, Sorbonne, Prancis dan petualangan-petualangan gilanya menaklukkan 31 negara di dataran Eropa dan separo Afrika dengan cara mengamen menjadi manusia patung ikan duyung untuk membiayainya.

Berbekal visa Schengen-nya yang memungkinkan seseorang bebas keluar masuk banyak negara Eropa, kita akan diajak berkeliling benua Biru itu dengan segudang keunikan masing-masing kota di setiap negara yang disinggahi Ikal dan Aray.

Dimulai dari Groningen’s Red Zone—sebuah kompleks lokalisasi di ujung utara Belanda. Membungkus diri dalam sleeping bag di sudut stasiun Kõln—Jerman. Menjelajah kawasan Skandinavia—dari Denmark, Swedia, Norwegia, Islandia, hingga kota terakhir Helsinky di Finlandia. Terlunta-lunta dan kelaparan berbulan-bulan di pedalaman miskin negeri Beruang Merah yang terbentang belasan ribu kilometer dari Belomorsk di titik paling timur hingga Olovyannaya di ujung paling barat Rusia. Singgah ke ujung dunia—Belush’ye, yang berada di Taiga Siberia, bagian dari Siberia yang paling pelosok berbatasan langsung dengan Samudra Artik dan Kutub Utara yang jika musim dingin suhunya merosot hingga minus 46 derajat celcius.

Berdiri di atas kapal fery di tengah Laut Kaspia dan tiba di Akropolis, gudangnya para filosof dunia itu—Yunani. Melintasi negeri-negeri Balkan dan nyaris kehilangan nyawa saat di rampok kawanan begundal di kota terpencil nan kumuh Crainova, di pelosok Rumania. Menyebrangi Laut Baltik dari pelabuhan Estonia ke Hamburg—Jerman, dan kembali menjelajah Eropa Barat menerobos Genewa, Swiss.

Bertatap muka dengan Oruzgan Mourad Karzani di Austria, pahlawan besar Balloch yang menumbangkan resimen Tentara Merah di Lembah Towraghondi tahun 1988. Salah satu penentu hengkangnya Rusia setelah dua belas tahun menginvansi Afganistan. Oruzgan adalah pejuang Mujahiddin yang mendapat suaka politik di Austria setelah bertikai dengan Aliansi Utara milisi Taliban.

Kemudian kita diajak singgah di Venesia dengan gondola-gondola yang meluncur syahdu di kanal-kanal yang berkilauan. Mengunjungi Colosseum Verona, tempat dimana konon William Shakespeare menulis kisah cinta terbesar dalam sejarah umat: Romeo and Juliette. Kemudian bertemu dengan Andrea Galliano—seorang wanita Italia yang dulu pernah dianggap sinting karena memanjat tiang telepon dan mengancam menerjunkan diri jika Elvis Presley—artis pujaannya, tak membalas suratnya, di Milan.

Oi, kalian percaya tidak kalau ternyata nama depan Andrea Hirata diambil dari nama depan wanita Italiano itu?

Begitulah, dari Milan, Ikal dan Arai akan memaksa kita menuju Jembatan Ponte Vechio di Florence di selatan Italia yang sangat unik karena lengan-lengan jembatan itu dilekati rumah-rumah penduduk berusia ratusan tahun, bertingkat-tingkat seperti kandang merpati. Dan, akhirnya terdampar di Mesina, kota sarang gembong mafia di Negeri Pizza, di Pulau Sisilia.

Tidak puas di daratan Eropa, mereka melintasi Kanal Sisilia, Pulau Sardinia, dan Pantai Malta untuk kemudian merapat di Dermaga Kelibia, Tunisia, gerbang utara Afrika.

Selamat Datang di Benua Hitam!

#

Jika buku-buku motivasi menguraikan banyak hal yang hanya berhenti sampai pada tataran teori, maka novel “Edensor” ini adalah sebuah kitab provokasi yang proven karena penulisannya terinspirasi oleh perjalanan hidup Andrea Hirata sendiri.

Pembuktian bahwa sekecil apapun mimpi-mimpi yang pernah kita miliki di masa lalu dan saat ini merupakan energi terdahsyat yang akan membawa kita untuk meraihnya di masa yang akan datang. Bahwa tidak ada hal sekecil apa pun terjadi karena kebetulan. Bahwa mimpi-mimpi masa kecil mampu menjadi pemain utama dalam pengembaraan nasib.

#

Dalam novel ini, kita juga akan menemukan kekhasan Andrea Hirata yang kampiun dalam bermetafora, pesan-pesan bijak dan akhir tiap mozaik yang mengejutkan dan penuh ironi menggelitik nan satire yang sungguh akan membuat kita terpingkal-pingkal—tertawa sampai menggigil.

Seperti kutipan di bawah ini, yang terdapat pada mozaik 38 “Enam Belas Tahun Tuhan Menunggu” hal. 243-244.

….

Sejak imam mengucapkan basmallah, aku dan Arai terpejam, khusyuk. Suara imam mendayu dalam masjid yang senyap. Aku dan Arai terhanyut. Senandungnya perlahan membawaku melayang ke Masjid Al-Hikmah di kampungku di Belitong, sebab lekukan tajwid, gaya, dan lagu imam sangat mirip dengan senandung imam kampung kami, Taikong Hamim. Ayat demi ayat mengalir, membelai-belai dan aku tercabut dari masjid itu. Aku serasa berdiri bersama puluhan anak Melayu di shaf belakang Masjid Al-Hikmah. Suasana tentram dan damai.

Namun ketika Imam Oruzgan sampai pada ayat terakhir Al-Fatihah, Waladh-dhoooolliiiin …. kekhusyukanku sontak berantakan. Aku terperanjat mendengar jeritan panjang, nyaring meliuk-liuk, seperti serigala mengundang kawin.

“Aaammmiiinnn … mmmmmiiinn … mmiiiiiiiinnnnn … mmmiiiiiiiiiinnnn ….”

Rupanya Arai melolong seperti dulu sering dilakukannya di Masjid Al-Hikmah untuk mengejek Taikong. Aku lebih kaget lagi karena suara amin itu hanya sendiri, sebab madzab yang dianut jamaah masjid ini hanya mengucapkan amin dalam hati. Suara Arai nyaring bergema-gema, meliuk-liuk, terpantul-pantul sendirian dari pilar ke pilar dalam ruangan besar itu. Di sebelahku tubuh Arai bergetar-getar hebat, kulitnya yang menempel padaku menjadi dingin, keringatnya mengalir deras, dan giginya gemelutuk. Mashood mendengus-dengus seperti kambing bengek. Ia pasti setengah mati menahan tawa.

Tuhan Tahu tapi Menunggu, kata Tolstoy. Enam belas tahun Tuhan menunggu untuk membalas kejahatan Arai dengan rasa malu yang tak tertanggungkan pada jemaah Afghanistan yang terhormat. Ribuan kilometer dari Masjid Al-Hikmah di Belitong, nun jauh di negeri yang sedikit pun tak pernah terbayangkan, karma menemui Arai. Usai shalat Arai menghampiri Imam, ia bersikap gentleman, memohon maaf dan mengatakan semua terjadi di luar kesadarannya.

“Sesuatu yang berasal dari keisengan masa kecil, Imamku,” kilahnya menyesal.

Imam tersenyum simpul.

“My brother,” sapanya halus. “Tak selembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan Allah.”

Kami bergegas kabur. Dari kejauhan kulihat segerombolan besar orang tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut, sampai terduduk-duduk. Mashood tergopoh-gopoh meraih sepeda ontelnya, pontang-panting menyusul kami.

“Brothers, brothers ….

“Very very goooood ….”

#

Dan, bagi Anda yang mempunyai mimpi—ya, hanya sebatas mimpi bolehlah seperti saya juga, untuk bisa menginjakkan kaki di Benua Biru, lebih khusus lagi dalam rangka melanjutkan studi, saya pikir “Edensor”—yang termasuk salah satu nominasi calon peraih Katulistiwa Award 2007, mungkin bisa menjadi sebuah referensi yang perlu untuk dibaca sekaligus menghibur.

Anda tidak percaya? Buktikan saja sendiri!

#

Selasa pagi, 20 November 2007 03:14 a.m


Thursday, November 15, 2007

Kita Seperti Impian Kita

Hari ini dapat email yang "inspiring" banget dari teman milist (jokoglobal@yahoo.co.id). Saya post disini setelah di edit sedikit...here it sounds...

.....Aku sesuai dengan prasangka hamba-hambaKu kepadaKu (Hadist Qudsi-HR. Abu Hurairah)

BERSAHABAT DENGAN GAGAL..

Sebab sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Alam Nasrah [94]: 5-6)

Sudah sunnatullah setiap manusia pernah mengalami kegagalan, para nabi-nabi juga pernah gagal.
Hukum pertama untuk berhasil adalah berani gagal. Kita tidak akan tahu seberapa jauh kita bisa terbang kalau kita tidak pernah mencoba. Karena kegagalan sesungguhnya adalah berhenti untuk mencoba lagi.

Tidak ada orang yang langsung lancar bersepeda tanpa jatuh pada kesempatan pertama.

Waktu belajar jalan kita sudah mengalami jatuh berkali-kali.

Rasulullah tidak langsung sukses berdakwah di Mekkah pada masa-masa awal Islam turun, padahal beliau utusan Tuhan. Bahkan, beliau sampai harus hijrah ke Madinah karena ditolak orang-orang jahil.

Thomas Alfa Edison mengalami 2000 kali kegagalan sebelum menemukan lampu.

Debut pertama Elvis Presley di Las Vegas thn 1956 dibatalkan karena tiketnya tidak laku.

Wright bersaudara gagal dan dihina sebelum berhasil menemukan pesawat terbang.

Abraham Lincoln 45 tahun gagal sebelum akhirnya sukses sebagai Presiden Amerika yang menghapus perbudakan.

Apa jadinya Afrika Selatan kalau Nelson Mandela berhenti melawan apartheid (diskriminasi ras) setelah 25 thn dipenjara.

Kita tidak akan ada di dunia jika saja dulu ayah kita takut ditolak waktu melamar ibu kita. Hee..hee..

Gagal cuma bagian dari proses belajar untuk sukses.

So,..gagal? Biasa aja lagi!!! Ayo..coba lagi dengan lebih baik..Optimislah !!!

Saturday, November 10, 2007

Yang Mendapat Nikmat

Sungguh, tidak mudah menjadi terasing; bersendirian dalam keyakinan, ucapan, serta amalan. Sebab tabiat manusia yang sosial, menghajatkan penerimaan yang layak dari sekitarnya. Ia selalu mencari komunitasnya agar diterima dan selalu bertanya, di manakah manusia ramai berada. Seperti perkataan Ibnul Qayyim, "Inilah keadaan mayoritas manusia, keadaan yang seringkali menghancurkan mereka."

Memang tidak mudah mencari kesalahan mayoritas, sebab semuanya tampak benar dan baik-baik saja. Aneh rasanya berbeda dengan mereka. Padahal mereka sendiri tidak pernah bertanya tentang kebenaran keyakinan dan perbuatan mereka, bahkan juga tentang duduk masalah sebenarnya.

Ibarat ajaran kitab suci, penerimaannya diniscayakan, sedang penolakannya ditabukan. Mereka hanya menerima, melestarikan, dan membela apa yang ada. Mereka mencari siapa yang berbeda, karena ingin semuanya sama dan serupa. Mereka merasa telah menjadi pahlawan, meski entah untuk apa. Tapi siapa yang bisa menolak hidayah? Ketika ia menyinari dan menghidupkan kalbu, juga akal sehat.

Membuat segala persoalan menjadi benderang, sehingga semuanya tampak sebagaimana seharusnya. Kemudian memberinya energi untuk menggugat. Bahkan kepada kelaziman yang telah diterima bulat. Hasilnya adalah keyakinan dan keberanian. Sebab hidup yang hanya sekali, memang harus membuatnya berarti! Akan selalu berbeda antara hamba yang kalbunya disinari iman dengan manusia yang berada dalam kegelapan. Antara mereka yang "bernyawa" dengan mereka yang telah binasa.

Mereka tidak akan pernah sama selama langit dan bumi masih ada. Bahkan ketika saat menghadap-Nya di akhirat telah tiba. Bahkan akhir dan kesudahannya. Manusia yang mendapat nikmat, adalah hamba-hamba yang ikhlas menerima kebenaran. Kalbu mereka bersinar karena al-Quran, ilmu, dan petunjuk. Mereka berjalan di bumi menyusuri shirathal mustaqim.

Mereka pun pernah menjadi mayoritas pada zamannya. Ketika langit menyentuh bumi, hingga ajaran Sang Pencipta langit tidak lagi diingkari. Kita harus percaya bahwa mereka pernah ada. Bahwa keyakinan mereka pernah juga menjadi yang paling banyak pengikutnya. Dan bahwa, saat itu, kebenaran bukanlah sebuah kemustahilan. Hingga manusia-manusia durjanalah yang justru menjadi asing dan tak lazim.

Meski kini, kita tak lagi berada dalam situasi yang sama, bukan berarti kita boleh menyerah begitu saja. Sebab kita hidup untuk Sang Pencipta yang sama, sedang zaman bisa berubah semaunya. Membolak-ballikkan logika kebenaran, juga siapa yang mayoritas dan siapa yang minoritas. Kita ingin menjadi hamba yang mendapat nikmat, bukan manusia yang dilaknat, dan bukan pula manusia yang sesat. Kita ingin hidup ini bermakna, sebab untuk inilah, sesungguhnya, kita diciptakan dan ada!

Thursday, November 8, 2007

Kisah Sufi : Ayah, Bagaimana Keadaanmu ?

Saat itu Syech Hasan sedang duduk-duduk di depan rumahnya, tiba-tiba ada jenazah seorang laki-laki melintas di depan rumahnya menuju ke tempat pemakaman. Terlihat olehnya di belakang jenazah seorang anak wanita bersama para pelayat yang lain. Rambut wanita itu tergerai dan tidak henti-hentinya menangis. Jelas nampak dalam raut wajahnya rasa duka yang sangat mendalam.

Syech Hasan berfikir bahwa mungkin anak wanita itu adalah Putri dari jenazah tadi. Segera saja Syech Hasan membuntuti iring-iringan jenazah tersebut dan mendekati anak wanita yang dari tadi menangis. Tatkala sudah dekat dengan anak wanita itu, Syech Hasan mendengar dengan jelas rintihannya.

"Wahai Ayah, belum pernah selama hidupku mengalami perasaan sedih dan duka yang sangat mendalam seperti yang aku alami sekarang ini. Aku benar-benar merasa kehilangan Ayah."

"Nak, belum pernah juga ayahmu mengalami kejadian yang menyusahkan seperti sekarang ini!" sahut Syekh Hasan.

Setelah tiba di sebuah mushalla, jenazah itu pun segera disholati dan kemudian dimakamkan. Derai tangis anak wanita tadi belum juga reda sampai acara pemakaman. Setelah acara pemakaman selesai para pengantar pun segera kembali ke rumahnya masing-masing.

Esok harinya, setelah menjalankan shalat subuh Syeikh Hasan kembali duduk-duduk santai di depan rumahnya. Namun selang beberapa lama kemudian, ia melihat anak wanita dengan jalan yang tergesa-gesa melintasi depan rumahnya. Rupanya, ia adalah anak wanita yang kemarin ditinggal mati oleh bapaknya. Anak wanita ini rupa-rupanya berjalan menuju tempat pemakaman. Merasa ada gelagat yang kurang baik, segera Syech Hasan mengikutinya dari kejauhan. Beliau ingin tahu apa sebenarnya yang ingin dikerjakan anak itu. Saat anak wanita itu memasuki makam, Syeikh Hasan mengintip dari tempat yang tersembunyi.

Tiba-tiba anak wanita itu memeluk nisan dan pipinya yang basah dengan air mata ditaruh diatas gundukan makam ayahnya, seraya berkata,

"Wahai ayah, bagaimana tadi malam engkau menginap? Kemarin lusa aku masih mempersiapkan alas tidur untukmu. Lalu siapakah yang mempersiapkan alas tidurmu tadi malam? Kemarin lusa aku masih mempersiapkan lampu untuk menerangimu. Lalu siapakah gerangan yang mempersiapkan lampu untuk menerangimu tadi malam?"

"Wahai ayah, ketika badanmu terasa pegal-pegal, seringkali aku memijat badanmu. Lalu siapa lagi sekarang yang akan memijat-mijatmu?"

"Wahai ayah," rintihnya lebih lanjut, "Ketika engkau merasa haus, dengan segera aku mengambilkan minuman untukmu. Namun siapakah yang mengambilkan engkau minum tadi malam? Ketika engkau merasa jemu dan penat tidur terlentang, maka segara aku balikkan engkau agar nyaman. Namun siapakah tadi malam yang mau membalik tubuhmu agar nyaman?"

"Dengan perasaan belas kasih, kemarin aku masih memandangi wajahmu. Tapi sekarang siapa lagi yang akan memandangi wajahmu seperti itu? Saat engkau memerlukan sesuatu, engkau segera memanggilku. Tapi bagaimana dengan malam tadi, siapakah yang engkau panggil? Bahkan kemarin lusa, aku masih memasakkan makanan untukmu. Tapi masihkah engkau juga menginginkannya dan siapa yang akan menyiapkan makanan untukmu?"

Air mata Syech Hasan tak sanggup lagi dibendungnya saat mendengar rintihan anak wanita itu. Air matanya berderai dengan derasnya berjatuhan satu persatu ke pipinya. Ia langsung menampakkan diri dari tempat persembunyiannya.

"Janganlah engkau mengucapkan kata-kata seperti itu, Nak!" hibur Syech Hasan sambil mengusap rambut wanita kecil itu.

"Namun katakanlah, "Wahai ayah, kemarin kami masih menghadapkan wajahmu ke arah kiblat. Lalu masihkah kini wajahmu menghadap ke kiblat ataukah telah berpaling darinya? Wahai ayah, saat kami menaruhkanmu di kubur, tubuhmu masih tampak utuh. Tapi masihkah sekarang keadaanmu seperti itu ataukah sudah habis dimakan ulat?"

"Ucapkan pula, Nak! Para ulama telah mengatakan bahwa seseorang yang sudah mati itu pasti akan ditanyai tentang keimanannya. Di antara mereka ada bisa menjawab dengan benar tapi ada juga yang tidak bisa menjawabnya sama sekali. Adakah ayah termasuk di antara mereka yang bisa menjawabnya?"

"Mereka juga menjelaskan bahwa sebagian jenazah itu ada yang dijepit oleh liang kuburnya sendiri hingga tulang rusuknya hancur berantakan, tapi adakalanya pula yang merasa liang kuburnya tersebut sangat luas sekali. Lalu bagaimana dengan keadaan kubur ayah sekarang ini?"

"Begitu juga ada keterangan yang menyebutkan bahwa kubur itu acapkali diganti dengan taman-taman surga, tapi adakalanya pula yang diubah menjadi jurang neraka. Lalu bagaimana dengan kubur ayah sekarang? Demikian pula ada yang menerangkan bahwa sebagian kafan itu kelak akan digantikan dengan kafan surga dan adakalanya pula yang diganti dari kafan neraka. Lantas dengan apakah kafan ayah digantikan?"

"Keterangan lain yang dikatakan oleh para ulama adalah bahwa kubur itu acapkali memeluk penghuninya sebagimana seorang ibu yang memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang. Tapi adakalanya pula yang mendapatkan marah dari kuburnya hingga menjepit sampai tulang belulangnya berserakan. Adakah kubur ayah sekarang marah ataukah sebaliknya memeluk ayah dengan kasih sayang?"

"Demikian juga bahwa para ulama telah menjelaskan, ketika seseorang telah memasuki kuburnya, maka bila dia sebagai orang yang bertakwa, ia akan menyesal karena merasa ketakwaannya belumlah seberapa. Begitu juga dengan orang yang durhaka. Mereka akan menyesal karena semasa hidupnya tidak mau berbuat kebajikan. Lantas apakah ayah tergolong mereka yang menyesal karena tidak pernah berbuat kebajikan ataukah mereka yang menyesal karena merasa ketakwaannya belumlah seberapa?"

"Wahai ayah, cukup lama aku memanggilmu! Tapi mengapa engkau tidak menjawab sedikit pun panggilanku. Ya Allah, janganlah kiranya Engkau menghalangi pertemuanku kelak di akhirat dengannya!"

Usai Syech Hasan mengajari seperti itu, anak kecil tersebut menolehkan kepalanya seraya berkata,

"Kalimat-kalimat yang engkau ajarkan itu sungguh menyejukkan hatiku. Sehingga hatiku sekarang merasa lebih tentram dan memalingkan aku dari kelalaian."

Melihat anak wanita itu sudah tenang hatinya, segera saja Syech Hasan mengantarnya pulang.

Demikianlah, mudah-mudahan dari kisah ini ada hikmah dan pelajaran berharga yang bisa kita renungkan bersama. Tidaklah perkara dunia yang harus kita tanyakan atau kita pikirkan pada orang yang ada di dalam kubur, namun perkara akhiratlah yang harus kita tanyakan atau kita pikirkan pada orang yang sudah berada di alam kubur.

Tuesday, November 6, 2007

Inilah 10 Kriteria Aliran Sesat


Gagah Wijoseno - detikcom

Jakarta - Bagaimana caranya menentukan suatu kelompok merupakan aliran sesat? Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan 10 kriterianya. Pedoman agar tidak tersesat.

Pedoman identifikasi aliran sesat dikemukakan dalam penutupan rakernas MUI di Hotel Sari Pan Pacific, Jl MH Thamrin,
Jakarta, Selasa (6/11/2007).

Berikut kriterianya:

1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6.

2. Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan sunnah.

3. Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran.

4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran.

5. Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.

6. Mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam.

7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul.

8. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir.

9. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak 5 waktu.

10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar'i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.

Walau termuat kriteria-kriteria sesat, Sekretaris Umum MUI Ichwan Syam mengatakan, tidak serta merta seseorang atau kelompok dikelompokkan sesat.

"Butuh waktu dan pengkajian mendalam untuk mengeluarkan fatwa sesat. Kita teliti, dikaji dulu, baru dikeluarkan fatwanya," ujarnya. (sss/nrl)

Friday, November 2, 2007

Cinta di Atas Cinta

Perempuan oh perempuan ! Pengalaman bathin para pahlawan dengan mereka ternyata jauh lebih rumit dari yang kita bayangkan. Apa yang terjadi, misalnya jika kenangan cinta hadir kembali di jalan pertaubatan seorang pahlawan? Keagungan!

Itulah, misalnya, pengalaman bathin Umar bin Abdul Aziz. Sebenarnya Umar seorang ulama, bahkan seorang mujtahid. Tapi ia dibesarkan di lingkungan istana Bani Umayyah, hidup dengan gaya hidup mereka, bukan gaya hidup seorang ulama. Ia bahkan menjadi trendsetter di lingkungan keluarga kerajaan. Shalat jamaah kadang ditunda karena ia masih sedang menyisir rambutnya.

Tapi, begitu ia menjadi khalifah, tiba-tiba kesadaran spiritualnya justru tumbuh mendadak pada detik inagurasi nya. Iapun bertaubat. Sejak itu ia bertekad untuk berubah dan merubah dinasti Bani Umayyah. Aku takut pada neraka katanya menjelaskan rahasia perubahan itu kepada seorang ulama terbesar zamannya, pionir kodifikasi hadits, yang duduk di sampingnya, Al Zuhri.

Ia memulai perubahan besar itu dari dari dalam dirinya sendiri, istri, anak-anaknya, keluarga kerajaan, hingga seluruh rakyatnya. Kerja keras ini membuahkan hasil; walaupun hanya memerintah dalam 2 tahun 5 bulan, tapi ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan zaman Khulafa Rasyidin. Maka iapun digelari Khalifah Rasyidin kelima.

Tapi itu ada harganya. Fisiknya
segera anjlok. Saat itulah istrinya datang membawa kejutan besar; menghadiahkan seorang gadis kepada suaminya untuk dinikahinya (lagi). Ironis, karena Umar sudah lama mencintai dan sangat menginginkan gadis itu, juga sebaliknya. Tapi istrinya, Fatimah, tidak pernah mengizinkannya; atas nama cinta dan cemburu. Sekarang justru sang istrilah YANG MEMBAWANYA SEBAGAI HADIAH. Fatimah hanya ingin memberikan dukungan moril kepada suaminya.

Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu-biru. Kenangan romantika sebelum saat perubahan bangkit kembali, dan menyalakan api cinta yang dulu pernah membakar segenap jiwanya. Tapi saat cinta ini hadir di jalan pertaubatannya, ketika cita-cita perubahannya belum selesai.

Cinta dan cita bertemu atau bertarung, di sini, di pelataran hati Sang Khalifah, Sang Pembaru. Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu? Tidak ada! Tapi, Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya masih harus kembali ke dunia perasaan semacam ini, Kata Umar.

Cinta yang terbelah dan tersublimasi diantara kesadaran psiko-spiritual, berujung dengan keagungan; Umar memenangkan cinta yang lain, karena memang ada cinta di atas cinta! Akhirnya ia menikahkan gadis itu dengan pemuda lain.

Tidak ada cinta yang mati di sini. Karena sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu bertanya dengan sendu, Umar, dulu kamu pernah sangat mencintaiku. Tapi kemanakah cinta itu sekarang? Umar bergetar haru, tapi ia kemudian menjawab, Cinta itu masih tetap ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam!

M Anis Matta Lc.
Sumber : Tarbawi 55/4/Muharram 1424H