Wednesday, August 16, 2006

Interview with GOD

Hari ini saya dapat email bagus dari milist, isinya tentang "wawancara dengan TUHAN". Tentunya ini hanya imaginasi saja, cuma cara penyampaian dan 'wise words' nya itu yang beda, mengena lah...kira2 begitu. Saya tulisin disini 'wise words' nya, kalo' mau denger prensentasinya langsung click aja disini, trus click 'view presentation'.

Here it's sounds....

I dreamed I had an INTERVIEW WITH GOD

"So you would like to interview me?" GOD asked.

"If you have the time," I said.

GOD smiled.

"My time is eternity...
...what questions do you have in mind for me?"

"What suprises you most about humandkind?"

GOD answered...

"That they get bored with childhood, they rush to grow up...
and then long to be children again."

"That they lose their health to make money...
and then lose their money to restore their health."

"That by thinking anxiously about future, they forget the present...
such that they live in neither the present nor the future."

"That they live as if they will never die...
and die as though they had never lived."

GOD's hand took mine, and we were silent for awhile.

And then I asked,

"As a parent, what are some of life's lessons you want your children to learn?"

"To learn they cannot make anyone love them...
All they can do is let themselves be loved."


"To learn that it is not good to compare themselves to others."

"To learn to forgive by practicing forgiveness."

"To learn that it only takes a few seconds to open profound wounds in those they love...
and it can take many years to heal them."

"To learn that a rich person is not one who has the most...
but is one who needs the least."

"To learn that there are people who love them dearly...
but simply do not yet know how to express or show their feelings."

"To learn that two people can look at the same thing...
and see it differently."

"To learn that it is not enough that they forgive one another...
but they also must forgive themselves."

"Thank you for your time," I said humbly.

"Is there anything else you'd like your children to know?"

GOD smiled and said...

"Just know that I am here."

"Always."

Tuesday, August 15, 2006

Mengingat Mati....

Hari pertama, tahajudku tetinggal
Dan aku begitu sibuk akan duniaku
Hingga zuhurku, kuselesaikan saat ashar mulai memanggil
Dan sorenya kulewati saja masjid yang mengumandangkan azan magrib
Dengan niat kulakukan bersama isya itupun terlaksana setelah acara tv selesai

Hari kedua, tahajudku tertinggal lagi
Dan hal yang sama aku lakukan sebagaimana hari pertama

Hari ketiga aku lalai lagi akan tahujudku
Temanku memberi hadiah novel best seller yang lebih dr 200 halaman
Dalam waktu tidak 1 hari aku telah selesai membacanya
Tapi... enggan sekali aku membaca Al-qur’an walau cuma 1 juzz
Al-qur’an yg 114 surat, hanya 1,2 surat ya ng kuhapal itupun dengan terbata-bata
Tapi... ketika temanku bertanya ttg novel tadi betapa mudah danlancarnya aku menceritakan

Hari keempat kembali aku lalai lagi akan tahajudku
Sorenya aku datang ke selatan Jakarta dengan niat mengaji
Tapi kubiarkan ustazdku yang sedang mengajarkan kebaikan
Kubiarkan ustadzku yang sedang mengajarkan lebih luas tentang agamaku
Aku lebih suka mencari bahan obrolan dengan teman yg ada disampig kiri & kananku.
Padahal ba'da magrib tadi betapa sulitnya aku merangkai Kata-kata untuk kupanjatkan saat berdoa

Hari kelima kembali aku lupa akan tahajudku
Kupilih shaf paling belakang dan aku mengeluh saat imam sholat jum’at
kelamaan bacaannya
Padahal betapa dekat jaraknya aku dengan televisi dan betapa nikmat,
serunya saat perpanjangan waktu sepak bola favoritku tadi malam

Hari keenam aku semakin lupa akan tahajudku
Kuhabiskan waktu di mall & bioskop bersama teman2ku
Demi memuaskan nafsu mata & perutku sampai puluhan ribu tak terasa keluar
Aku lupa .. waktu diperempatan lampu merah tadi
Saat wanita tua mengetuk kaca mobilku
Hanya uang dua ratus rupiah kuberikan itupun tanpa menoleh

Hari ketujuh bukan hanya tahajudku tapi shubuhkupun tertinggal
Aku bermalas-malasan ditempat tidurku menghabiskan waktu
Selang beberapa saat dihari ketujuh itu juga
Aku tersentak kaget mendengar khabar temanku kini
Telah terbungkus kain kafan padahal baru tadi malam aku bersamanya
Dan tiga perempat malam tadi dia dengan misscallnya mengingatkan aku tentang tahajud

Kematian..............

Kenapa aku baru gemetar mendengarnya?
Padahal dari dulu sayap-sayapnya selalu mengelilingiku
Dan Dia bisa hinggap kapanpun dia mau

Puluhan tahun aku lalai....
Dari hari ke hari, bulan dan tahun
Yang wajib jarang aku lakukan apalagi yang sunnah
Kurang mensyukuri walaupun KAU tak pernah meminta
Berkata kuno akan nasehat ke-dua orang tuaku
Padahal keringat & airmatanya telah terlanjur menetes demi aku

Tuhan............

Andai ini merupakan satu titik hidayah
Walaupun imanku belum seujung kuku hitam
Aku hanya ingin detik ini hingga nafasku yang saat nanti tersisa
Tahajud dan sholatku meninggalkan bekas
Saat aku melipat sajadahku.....
Amin....

Saleh dan Malu...

Oleh: Mohammad Sobary, Tempo 16 Maret 1991

Beruntung, saya pernah mengenal tiga orang saleh. Ketiganya tinggal di daerah yang berbeda, sikap dan pandangan agamis mereka berbeda, dan jenis kesalehan mereka pun berbeda.

Saleh pertama di Klender, orang Betawi campuran Arab. Ia saleh, semata karena namanya. Orang menyukainya karena ia aktif siskamling meskipun bukan pada malam-malam gilirannya.

Orang kedua, Haji Saleh Habib Farisi, orang Jawa. Agak aneh memang, Habib Farisi sebuah nama Jawa. Tapi ia saleh dalam arti sebenarnya. Minimal kata para anggota jamaah masjid kampung itu.

Jenggotnya panjang. Pici putihnya tak pernah lepas. Begitu juga sarung plekat abu-abu itu. Tutur katanya lembut, seperti Mas Danarto. Ia cekatan memberi senyum kepada orang lain. Alasannya: “senyum itu sedekah”.

Kepada anak kecil, ia sayang. Hobinya mengusap kepala bocah-bocah yang selalu berisik pada saat salat jamaah berlangsung. Usapan itu dimaksudkan agar anak-anak tak lagi bikin gaduh. Tapi bocah tetap bocah. Biar seribu kali kepala diusap, ribut tetap jalan. Seolah mereka khusus dilahirkan buat bikin ribut di masjid.

Ramai itu baik saja,” katanya sabar, (ketika orang-orang lain pada marah), “karena ramai tanda kehidupan,” katanya lagi. Lagi pula, kita harus bisa salat khusyuk dalam keramaian itu.”

Mungkin ia benar. Buktinya ia betah berjam-jam zikir di masjid. Sering salatnya sambung-menyambung tanpa terputus kegiatan lain. Selesai magrib, ia tetap berzikir sambil kepalanya terangguk-angguk hingga isya tiba.

Jauh malam, ketika semua orang masih lelap dalam mimpi masing-masing, ia sudah mulai salat malam. Kemudian zikir panjang sampai subuh tiba.

Selesai subuh, ia zikir lagi, mengulang-ulang asmaul husna dan beberapa ayat pilihan sampai terbit matahari, ketika salat duha kemudian ia lakukan. Pendeknya, ia penghuni masjid.

Tidurnya cuma sedikit. Sehabis isya, ia tidur sekitar dua jam. Kemudian, selesai salat duha, tidur lagi satu jam. Selebihnya zikir, zikir, zikir.... Pas betul dengan nama-nama yang disandangnya. Dasar sudah saleh, plus Habib (nama sufi besar), ditambah Farisi (salah seorang sahabat Nabi).

Kalau kita sulit menemui pejabat karena banyak acara, kita sulit menemui orang Jawa ini karena ibadahnya di masjid begitu padat.

Para tetangga menaruh hormat padanya. Banyak pula yang menjadikannya semacam idola. Namun, ia pun punya kekurangan. Ada dua macam cacat utamanya. Pertama, kalau dalam salat jamaah tak ditunjuk jadi imam, ia tersinggung. Kedua, kalau orang tak sering “sowan” ke rumahnya, ia tidak suka karena ia menganggap orang itu telah mengingkari eksistensinya sebagai orang yang ada di “depan”.

Apakah ia dengan demikian aktif di masjid karena ingin menjadi tokoh?” Hanya Tuhan dan ia yang tahu.

Pernah saya berdialog dengannya, setelah begitu gigih menanti zikirnya yang panjang itu selesai. Saya katakan bahwa kelak bila punya waktu banyak, saya ingin selalu zikir di masjid seperti dia. Saya tahu, kalau sudah pensiun, saya akan punya waktu macam itu.

“Ya kalau sempat pensiun,” komentarnya.

"Maksud Pak Haji?"

“Memangnya kita tahu berapa panjang usia kita? Memangnya kita tahu kita bakal mencapai usia pensiun?”

"Ya, ya. Benar, Pak Haji," saya merasa terpojok.

“Untuk mendapat sedikit bagian dunia, kita rela menghabiskan seluruh waktu kita. Mengapa kita keberatan menggunakan beberapa jam sehari buat hidup kekal abadi di surga?”

“Benar, Pak Haji. Orang memang sibuk mengejar dunia.”

“Itulah. Cari neraka saja mereka. Maka, tak bosan-bosan saya ulang nasihat bahwa orang harus salat sebelum disalatkan.”

Mungkin tak ada yang salah dalam sikap Pak Haji Saleh. Tapi kalau saya takut, sebabnya kira-kira karena ia terlalu menggarisbawahi “ancaman”.

Saya membandingkannya dengan orang saleh ketiga. Ia juga haji, pedagang kecil, petani kecil, dan imam di sebuah masjid kecil. Namanya bukan Saleh melainkan Sanip. Haji Sanip, orang Betawi asli.

Meskipun ibadahnya (di masjid) tak seperti Haji Saleh, kita bisa merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya, mengapa salatnya sebentar, dan doanya begitu pendek, cuma melulu istighfar (mohon ampun), ia bilang bahwa ia tak ingin minta aneh-aneh. Ia malu kepada Allah.

Bukankah Allah sendiri menyuruh kita meminta dan bukankah Ia berjanji akan mengabulkannya?”

“Itu betul. Tapi minta atau tidak, kondisi kita sudah dengan sendirinya memalukan. Kita ini cuma sekeping jiwa telanjang, dari hari ke hari nyadong berkah-Nya, tanpa pernah memberi. Allah memang mahapemberi, termasuk memberi kita rasa malu. Kalau rezeki-Nya kita makan, mengapa rasa malu-Nya tak kita gunakan?” katanya lagi.

Bergetar saya. Untuk pertama kalinya saya merasa malu hari itu. Seribu malaikat, nabi-nabi, para wali, dan orang-orang suci -langsung di bawah komando Allah—seperti serentak mengamini ucapan orang Betawi ini.

“Perhatikan di masjid-masjid, jamaah yang minta kepada Allah kekayaan, tambahan rezeki, naik gaji, naik pangkat. Mereka pikir Allah itu kepala bagian kepegawaian di kantor kita. Allah kita puji-puji karena akan kita mintai sesuatu. Ini bukan ibadah, tapi dagang. Mungkin bahkan pemerasan yang tak tahu malu. Allah kita sembah, lalu kita perah rezeki dan berkah-Nya, bukannya kita sembah karena kita memang harus menyembah, seperti tekad Al Adawiah itu,” katanya lagi.

Napas saya sesak. Saya tatap wajah orang ini baik-baik. Selain keluhuran batin, di wajah yang mulai menampakkan tanda ketuaan itu terpancar ketulusan iman. Kepada saya, Kong Haji itu jadinya menyodorkan sebuah cermin. Tampak di sana, wajah saya retak-retak. Saya malu melihat diri sendiri. Betapa banyak saya telah meminta selama ini, tapi betapa sedikit saya memberi. Mental korup dalam ibadah itu, ternyata, bagian hangat dari hidup pribadi saya juga.

Jika Esok Tak Pernah Datang

Oleh: Bayu Gawtama

Setiap bangun tidur dan membuka mata, yang terucap adalah kalimat syukur bahwa Allah masih mengizinkan diri ini kembali melihat fajar. Merasai hembusan angin pagi yang menerobos celah jendela, dan menjumpai semua yang semalam terlihat sebelum mata terpejam masih seperti sedia kala, tidak ada yang berubah.

Kemudian melangkahlah dengan iringan doa di gerbang mungil menuju arena perjuangan kehidupan. Dengan tuntunan-Nya lah diri ini tak melangkah ke jalan yang salah, tak menjamah yang bukan hak, tak melihat yang dilarang, tak memamah yang tak halal, tak mendengar yang batil, dan tak banyak melakukan yang sia-sia. Karena setiap waktu yang terlewati pasti akan ditagih tanggungjawabnya. Lantaran semua jalan yang dilalui akan dimintai kesaksiannya atas diri ini. Dan sebab seluruh indera ini akan diminta bicara tentang apa-apa yang pernah tercipta.

Hari ini, masih ada lalai terbuat. Masih juga lengah sehingga khilaf tercipta. Meski segunung tausyiah pernah didengar, mulut ini masih terselip berucap dusta, saringan telinga ini tetap tak mampu membendung suara-suara melenakan, dan masih saja ada perbuatan yang salah, walau itu dalam bingkai alpa. Padahal, di setiap terminal ruhiyah, sedikitnya lima kali sehari lidah ini berucap, tangan ini tertengadah, dan mata menitikkan butir bening, seraya memohon perlindungan dari Allah dijauhkan dari salah dan dosa. Tetapi, masih juga langkah ini menuju arah yang sesat.

Setiap hari menangis, setiap hari meminta ampunan, setiap hari berbuat salah. Hari ini mencipta dosa, esok sibuk bersujud, meluluhkan air mata, menyusun kalimat doa, menganyam pinta semoga Allah menghapusnya dalam sekejap. Detik ini berbuat salah, terlalu lama menghapusnya, bahkan kadang lupa. Padahal, bisa saja sedetik kemudian diri ini tak lagi sempat memohon ampunan. Lupakah bahwa waktu sangat cepat berlalu. Lupakah pula bahwa menyesal di akhirat hanyalah kesiaan yang nyata?

Bagaimana jika hari esok tak pernah datang, padahal baru saja seharian ini berenang di lautan dosa. Padahal belum sempat menghapus noda hari ini, kemarin, sepekan yang lalu, setahun lalu, dan bertahun-tahun yang lalu. Bagaimana jika Allah tak berkenan membukakan mata kita setelah sepanjang malam terlelap? bagaimana jika perjumpaan dan canda riang bersama keluarga semalam adalah yang terakhir kalinya. Ketika esok harinya ruh ini melihat seluruh keluarga menangisi jasad diri yang terbujur kaku berkafan putih.

Bagaimana jika matahari esok terbit dari barat, tak seperti biasanya dari timur? Padahal hari ini lupa menyebut nama-Nya. Padahal di hari ini, belum sempat mengunjungi satu persatu keluarga, kerabat, sahabat, tetangga, dan orang-orang yang pernah tersakiti oleh lidah dan tindakan kita. Sudah terlalu lama tak mencium kaki orang tua mencari keridhaannya, walau tak terhitung salah diri. Belum lagi sempat berderma, setelah derma kecil beberapa tahun lalu yang sering kita banggakan.

Dan jika memang esok tak pernah datang. Sungguh celakalah diri ini. Benar-benar celaka, bila belum sempat mencuci dosa sepanjang hidup. Bila belum mendengar ungkapan maaf dari orang-orang yang pernah terzalimi, bila belum menyisihkan harta yang menjadi hak orang lain, bila belum sempat meminta ampun atas segala salah dan khilaf yang tercipta.

Maka, saat pagi ini Allah masih memperkenankan diri menikmati fajar, mulaikan hari dengan kalimat, "terima kasih, Allah" (Gaw)

Tuesday, August 8, 2006

Ya Allah !

(Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta pada-NYA.
Setiap waktu Dia dalam kesibukan.) ( QS.Ar-Rahman: 29)

Ketika laut bergemuruh, ombak menggunung, dan angin bertiup kencang menerjang, semua penumpang kapal akan panik dan menyeru, " Ya Allah!"

Ketika seseorang tersesat di tengah gurun pasir; kendaraan menyimpang jauh dari jalurnya; dan para kafilah bingung menentukan arah perjalanannya, mereka akan menyeru, " Ya Allah ! "

Ketika musibah menimpa, bencana melanda, dan tragedi terjadi, mereka yang tertimpa akan selalu berseru, " Ya Allah!"

Ketika pintu-pintu permintaan telah tertutup, dan tabir-tabir permohonan digeraikan, orang-orang mendesah, " Ya Allah !"

Ketika semua cara tak mampu menyelesaikan, setiap jalan terasa menyempit, harapan terputus, dan semua jalan pintas membuntu, merekapun menyeru , " Ya Allah!"

Ketika bumi terasa menyempit dikarenakan himpitan persoalan hidup dan jiwa serasa seolah tertekan oleh beban berat kehidupan yang harus Anda pikul, menyerulah, " Ya Allah! "

Kuingat Engkau saat alam begitu gelap gulita, dan wajah zaman berlumuran debu hitam.

Kusebut nama-MU dengan lantang di saat fajar menjelang, dan fajarpun merekah seraya menebar senyuman indah.

Setiap ucapan baik, doa yang tulus, rintihan yang jujur, air mata yang menetes penuh keikhlasan, dan semua keluhan yang menggudah- gulanakan hati adalah hanya pantas ditujukan ke hadirat-NYA.

Setiap dini hari menjelang, tengadahkan kedua telapak tangan, julurkan lengan penuh harap, dan arahkan terus tatapan matamu ke arah-NYA untuk memehon pertolongan! Ketika lidah bergerak, tak lain hanya untuk menyebut, mengingat dan berdzikir dengan nama-NYA.
Dengan begitu, hati akan tenang, jiwa akan damai, syaraf tak lagi menegang, dan iman kembali berkobar-kobar.

Demikianlah, dengan selalu menyebut nama-NYA, keyakinan akan semakin kokoh. Karena, (Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamban-NYA.) QS. Asy-Syu'ra:19

Allah : Nama yang paling bagus, susunan huruf yang paling indah, ungkapan yang paling tulus, dan kata yang sangat berharga.
(Apakah kamu tahu ada seseorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah) ? ) QS.Maryam : 65

Allah : Milik-NYA semua kekayaan, keabadian, kekuatan, pertolongan, kemuliaan, kemampuan, dan hikmah.
(Milik siapakah kerajaan pada hari ini? Milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan) QS. Ghafir : 16

Allah: dari-NYA semua kasih-sayang, perhatian, pertolongan, bantuan, cinta dan kebaikan.
(Dan, apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah datangnya) QS. An-Nahl: 53

Allah: Pemilik segala keagungan, kemuliaan, kekuatan dan keperkasaan.
Betapun kulukiskan keagungan-MU dengan deretan huruf, Kekudusan-MU tetap meliputi semua arwah, Engkau tetap Yang Maha Agung, sedang semua makna, akan lebur, mencair, di tengah keagungan-MU, wahai Rabku.

Ya Allah, gantikanlah kepedihan ini dengan kesenangan, jadikan kesedihan itu awal kebahagian, dan sirnakan rasa takut ini menjadi rasa tentram.

Ya Allah, dinginkan panasnya kalbu dengan salju keyakinan, dan padamkan bara jiwa dengan air keimanan.

Wahai Rabb, anugerahkan pada mata yang tak dapat terpejam ini rasa kantuk dari-MU yang menentramkan, tuangkan dalam jiwa yang bergolak ini kedamaian, dan ganjarlah dengan kemenangan yang nyata.

Wahai Rabb, tunjukanlah pandangan yang kebingungan ini kepada cahaya-MU, bimbinglah sesatnya perjalanan ini ke arah jalan-MU dan merapat ke hidayah-MU!

Ya Allah, sirnakan keraguan terhadap fajar yang pasti datang dan memancar terang, dan hancurkan perasaan yang jahat dengan secercah sinar kebenaran. Hempaskan semua tipu daya setan dengan bantuan bala tentara-MU!

Ya Allah, sirnakan dari kami rasa sedih dan duka, dan usirlah kegundahan dari jiwa kami semua!

Kami berlindung kepada-MU dari setiap rasa takut yang mendera, hanya kepada-MU kami bersandar dan bertawakal, hanya kepada-MU kami memohon, dan hanya dari-MU lah semua pertolongan.

Cukuplah Engkau sebagai Pelindung kami, karena Engkaulah sebaik-baik Pelindung dan Penolong.


Sumber : Buku LA TAHZAN (Pengarang : DR. Aidh Al-Qarmi)