Kadang kita tidak menyadari, betapa malasnya diri kita untuk selalu meminta pada-Nya. Atau mungkin ada saat-saat tertentu di mana kita tidak merasakan perlunya pertolongan dan perlindungan dari-Nya.
Ada saat-saat tertentu di mana kita merasa ‘aman-aman’ saja dengan sejumlah kenikmatan duniawi yang telah kita rengkuh. Pada saat itu, kita tak lagi peduli akan orang lain, keluarga, dan orang-orang terdekat kita. Memang sudah tabiat manusia yang hanya akan ingat pada Rabb-nya ketika ia merasakan susah saja. Memang sudah tabiat manusia yang cepat lupa akan perintah-Nya untuk selalu bersyukur dan memanjatkan doa.
Dan ketika musibah atau hal yang tak diinginkan itu datang, barulah kemudian sesal berkepanjangan. Bahkan mungkin mengutuk diri yang lalai akan kewajiban mengingat-Nya, dan mendoakan keselamatan diri serta orang-orang yang dicintai.
Ada seseorang yang Allah memberikan sebuah kelebihan padanya, yaitu setiap kali ia memanjatkan doa, apa yang ia pinta dalam waktu tak lama terkabul. Ia memang selalu mensyukuri kemudahan yang telah Ia berikan tersebut, dan memang ia adalah seseorang yang bisa dikatakan bukan seseorang yang awam dalam hal pengetahuan agama. Tapi sekali lagi, bicara tentang keimanan tak cukup hanya sampai di situ.
Keimanan mendalam adalah sebuah konsistensi ibadah, yang dihayati sepenuh jiwa, berlandaskan sebuah kepahaman yang utuh. Dan melalui ujian-ujian lah seseorang bisa mendapatkan predikat ‘mukmin’. Juga seperti yang Rasulullah sabdakan, bahwa keimanan yang bercokol di tiap hati seorang muslim pasti ada kalanya naik dan turun. Itulah yang akan menguji konsistensi seseorang dan mujahadah-nya dalam menjaga stabilitas iman.
Seseorang ini pun hanyalah seorang hamba yang sama lemahnya dengan manusia-manusia lainnya. Kala ia merasa berada di titik ‘aman’ tersebut, maka ia kerap kali lupa untuk menjaga konsistensinya dalam memanjatkan doa. Padahal, kepada siapa lagi kita bisa meminta? Dan bukankah Allah menyukai hamba-hamba-Nya yang selalu mendekatkan diri pada-Nya?
Akhirnya, ujian-ujian kecil pun Allah turunkan, seseorang ini mendapatkan sebuah permasalahan yang cukup mengguncangkan hatinya. Dan ketika itulah ia menyadari kekhilafannya untuk mendekatkan diri dan berdoa pada Sang Pemilik Jiwa. Karena sesungguhnya segala nikmat adalah datang dari-Nya, demikian pula hal-hal yang bisa jadi tidak kita sukai yang menimpa diri kita. Karena sesungguhnya keduanya harus selalu kita syukuri, sebab itulah yang akan menjadi alat ujian, apakah kita lolos dan berhasil mendapatkan predikat ‘mukmin’ atau tidak.
Dan seseorang ini pun, seperti yang sudah-sudah, akhirnya kembali merapatkan hatinya untuk bersimpuh pada Allah. Melantunkan kembali doa-doa panjangnya, berharap sesuatu yang sedang menimpanya akan diganti dengan sesuatu yang lebih baik. Kembali berharap bahwa Allah akan mengabulkan pintanya kali ini, dengan keyakinan bahwa Allah akan selalu mengabulkan doa hamba-Nya yang meminta. Namun akankah keadaan ini berulang sepanjang hidupnya? Bahwa ketika ia kembali dalam posisi ‘aman’ lantas ia melalaikan diri dari Rabb-nya?
Seseorang yang saya contohkan tersebut bisa jadi adalah gambaran diri kita sehari-hari. Mungkin bisa saja kita berkilah bahwa lalai dan lupa adalah memang tabiat manusia, dan kemudian kita memaafkan diri kita yang tak sanggup mengerahkan segenap kekuatan hati kita untuk berteguh dalam beribadah pada-Nya. Atau memang sudah menjadi tabiat diri kita yang menyepelekan sebuah untaian doa, menganggap bahwa ia tak sebanding dengan ibadah lainnya yang (sepertinya) sudah kita lakukan.
Suatu ketika Aisyah ra. mendapati Rasulullah SAW yang mendirikan qiyamullail hingga bengkak-bengkak kedua kakinya. Nurani kita mungkin mengatakan bahwa perbuatan tersebut melampaui kemampuan fisik seorang manusia. Namun seorang Muhammad yang sudah dijanjikan surga serta dihapus segala dosanya saja bisa mengatakan, “Apakah aku tak boleh mewujudkan rasa syukurku pada-Nya?”
Lantas, bagaimanakah dengan diri kita yang tak pernah lepas dari dosa serta masih harus berharap cemas akan tempat kita di surga?
Saya rasa, seseorang yang saya ceritakan di atas patut mensyukuri bahwa Allah masih berkenan untuk ‘mengingatkannya’ dengan memberikan ujian-ujian kecil ketika ia lupa untuk mendekatkan diri pada-Nya.
Bagaimana pula bila Allah tak lagi peduli dan membiarkannya tenggelam dalam kenikmatan dunia, sedangkan tak ada sedikit pun keridhaan Allah padanya? Sungguh, dunia dan segala isinya tak ada artinya dibandingkan menjadi bagian dari orang-orang yang diridhai dan dicintai Allahu Rabb al-‘Alamin.
DH Devita
dh_devita@yahoo.com
http://www.ayyasykecil.blogspot.com
No comments :
Post a Comment