Monday, November 14, 2005

Tsabit Syawal

Oh rembulan...
Engkau telah penuhi RamadhanMu hingga tiba giliranmu meninggalkan kami di bumi. Berat kami melepasmu, enggan kami berpisah denganmu.

Ahh, kenapa engkau datang hanya sesaat, sedang RamadhanMu adalah yang paling utama di setiap detik, menit, hari dan malam-malammu, saat di setiap gerak dan detak jantung, helaan napas menjadi Tasbih, saat amal-amal dilipatgandakan pahalanya.

Sedang kami belum sempat memuliakan anak-anak yatim sepenuhnya, menggantikan ayah yang yatim dan bunda yang piatu, membagi kasih dan cinta kami, sedang kebanyakan mereka masih tuna griya.

Kami belum sempat mengenyangkan rasa lapar para fakir, merelai dahaganya para fuqara dan masaakin secara merata. Kami masih membiarkan mereka berbusana compeng, apalagi membaluti tubuh mereka dengan helai baju anyar untuk hari Lebaran yang fitri ini.

Ramadhan ini juga kami belum mampu memberi makan untuk berbuka kepada kaum dhuafa, mu'allaf mukmin di zona-zona konflik dan musibah yang melaksanakan shaum. Kami masih terlalu berkalkulasi padahal kami tahu akan kemurahanMu ya Rabb.

***

Atau kami belum mampu menahan lidah dan menyembunyikan aib teman dan jiran kami. Terkadang genderang telinga masih sempat mendengar tabuhnya ghibbah, gossip dan cerca maki. Tak terasa kami hanyut dengan arusnya maksiat hati.

Kami selalu mengelak ajakan berbuat ma'ruf seolah kami tak mampu membantu kerja-kerja amar dan amal, bahkan seringnya kami mengulur waktu dan memanjang janji. Sepertinya kami diburu waktu, seolah kami dikejar hantu, sedang waktu kami cuma dua puluh empat jam sehari, tujuh hari dalam sepekan.

Sujud kami masih singkat, khatam kami tak paripurna, kedalaman lautan dzikir dan wiridMu tak mampu kami arungi. Ikhlas kami masih saru dengan pamrih dan pamer, semburat sabar kami teramat tipis, seringnya terperdaya oleh buncahnya hati hingga amarah itu tak teredam.

Kata maaf masih berat terucapkan, apalagi melupakan. Punggung-punggung kami masih berat dengan beban dosa dan salah kami, kami terdzalimi oleh diri kami sendiri.

***

Kami tengah menikmati indahnya rona bulan dan nikmatnya shaum hai pemilik Ramadhan. Kaki kami tengah menapaki fase fase kesadaran. Kedua tangan kami tengah menengadah mohon ampunan dan hampuraMu. Dan bahwa kami baru mampu ber-bait belum banyak berbuat, tiba tiba kau harus beranjak.

Ohh...
Tahu-tahu semburat Tsabit Syawal menjelang, sang hilal tiba menggantikan rona RamadhanMu dibalik sendu dan kelabunya zona Eropa. Kami patuh pada sunatullah dan para alim yang menyaksikan ru'yah.

Ohh...
Begitu menyatunya buncahan antara rasa duka dan bahagia antara perpisahan dan kemenangan.

Tapi benarkah kami telah memenangkannya, ya Allah? Tergapaikan fitri ini? Tersisipkah di kisi-kisi hati yang rapuh dan rawan ini? Mungkinkan kefitrian ini mampu mematri bingkai hati dengan suar tawadhu dan ikhlas sehingga biasnya terrefleksi pada langkah dan gerak kami nanti.

Ya Allah...
Selaksa haru penuh harap, temukanlah kami dengan RamadhanMu di tahun mendatang, berilah kami kesempatan. Allahu 'alam bishawab.

Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa fa fuanna. Ya Allah, sesungguhnya Engkau yang Maha Pemaaf, Engkau suka memaafkan. Maka, maafkanlah kami.


(Shahida)